Jumat, 08 Juli 2011

Pers Kampus Sebagai Media Perjuangan


 

Oleh Rustam Aji

Tak bisa dipungkiri, keberadaan pers sangatlah penting dalam membangun pola pikir masyarakat. Itu, tak bisa disangkal. Sesuai fungsinya, pers (media cetak atau elektronik) memiliki empat kegunaan. Pertama, fungsi informasi. Dalam arti, apa yang disajikan dalam media itu, merupakan sebuah kabar (berita) yang layak diketahui masyarakat. Bahkan, semakin 
pentingnya informasi, banyak pelaku bisnis memanfaatkannya untuk memperkenalkan produknya.
Kedua, fungsi edukatif. Tak bisa dielakkan pula, bahwa media juga sangat berperan dalam pendidikan. Pola pikir masyarakat (baca: pembaca) sangat mudah terpengaruh oleh media. Sudah banyak bukti menunjukkan itu. Tapi, saat ini, fungsi ini semakin lama semakin tenggelam. Sebab, media lebih menonjolkan sifat bisnisnya ketimbang membidik pendidikan.
Ketiga, kontrol sosial. Sejujurnya, fungsi pers pada mulanya adalah sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan. Dengan kekritisan para jurnalisnya, berbagai kebobrokan yang dilakukan oleh “penguasa” dapat diungkap. Sehingga, masyarakat bisa menilai, mana pejabat yang baik dan yang tak baik.
Dan keempat, adalah fungsi hiburan. Dengan meningkatnya pola hidup masyarakat modern saat ini, cenderung pembaca akan lebih selektif dalam membaca. Orang yang sibuk, cenderung akan menyukai berita yang berupa “hiburan”. Karena itu, tak berlebihan bila kini muncul media-media yang khusus menyajikan berita tentang hiburan (baca: selebritis).
Dengan melihat fungsi diatas, tak berlebihan kiranya, jika awal kemunculan media –di era kemerdekaan—dijadikan alat perjuangan. Pasalnya, media sangat efektif untuk dijadikan alat propaganda. Para politisi, sering memanfaatkan media untuk mempengaruhi rakyat. Bahkan, juga dipakai menghantam “musuh” politiknya. Soekarno dan Hatta, adalah sedikit tokoh nasional yang menggunakan media massa sebagai alat perjuangan untuk merebut kemerdekaan.
Tetapi, apakah fungsi itu masih ada? Sulit rasanya untuk menilai seperti pada saat era penjajahan kala itu. Pasalnya, dengan tingginya biaya produksi –belum lagi gaji karyawannya—menjadikan media tak lebih hanyalah sebagai alat bisnis. Meski begitu, tak semua media bersikap demikian. Ada pula media yang tetap kritis mengusung isu demokratisasi. Sehingga, menjalankan dua fungsi. Selain sebagai alat kontrol, juga bisnis.
Bagaimana dengan Pers Kampus (Mahasiswa)?
Sebenarnya, keberadaan pers kampus tak sama dengan pers umum. Karena, pers kampus bisa lebih leluasa “bermain” ide. Lepas dari kepentingan bisnis. Sehingga mampu menjalankan fungsi sebagai alat kontrol. Lebih konsisten dan independent dalam membuat berita –saya tak mengatakan pers umum tak independent, hanya saja, karena lebih dikuasai kepentingan bisnis, menjadikan pers umum tak bisa “seenaknya” memberitakan sesuatu.
Oleh karena itu, dulu –entah kalau saat ini—pers (baca: penerbitan) kampus sering digunakan alat “perjuangan” para aktivis. Mereka memanfaatkan untuk menuangkan ide-ide kritisnya. Pers kampus sering dijadikan ajang pergulatan pemikiran dan gerakan oleh para aktivis. Dan, kebanyakan, para aktivis, lahir dari pers kampus. Setiap kali ada “gerakan turun jalan”, bisa dipastikan anak-anak pers kampus yang menjadi motor penggeraknya.
Tak berlebihan kiranya, di era orde baru, peran pers kampus sangat dibatasi. Bahkan, kalau bisa ingin dimatikan. Itu, sangat nampak pada kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru dengan terbitnya NKK/BKK (normalisasi kehidupan kampus) ditahun 1985. Alhasil, dengan terbitnya NKK/BKK, gerak aktivis pers mahasiswa (Persma) menjadi sangat terbatas. Mereka selalu menjadi sasaran intaian. Bahkan, demi mensukseskan program NKK/BKK itu, masuklah “polisi-polisi” kampus, yang dibuat secara terlembaga.
Tidak hanya itu, satu hal yang juga membatasi gerak aktivis persma adalah program SKS. Aktivis yang kebanyakan menyukai “kehidupan” flamboyan, tak lagi bisa bebas. Sebab, mereka harus kuliah dengan sistem terjadwal. Akibatnya, persma dikelola dengan “apa adanya”. Tak begitu mempentingkan kualitas isi. Yang penting, bisa terbit.
Bagaimana dengan era sekarang? Persma tak ubahnya sebagai orang yang memiliki gigi, tapi tidak bisa menggigit. Bagaimana tidak, dengan seabrek jadwal mata kuliah yang padat, serta dituntut untuk segera lulus, menjadikan para aktivis persma tidak bisa “kerja” secara all out. Mereka menulis hanya sekadar memenuhi tuntutan terbit, sementara kualitas sangat dikesampingkan. Itu, sangat mafhum, karena dana penerbitan dari iuran mahasiswa. Sehingga, mereka hanya sekadar memenuhi target terbit.
Adanya intervensi dari pihak birokrat kampus juga ikut berperan mematikan persma. Disatu sisi mereka mendukung adanya persma, tetapi disisi lain, mereka sangat membatasi penuangan ide-ide. Bagaimana tidak, setiap berita selalu mendapat “pengawalan” ketat dari pihak birokrat. Pemberitaan yang isinya menyudutkan pihak kampus, atau menyinggung kebijakan pemerintah, dilarang untuk diekspose. Jelas, hal ini akan mematikan kreatifitas aktivis persma.
Karenanya, menurut Romy Fibri, ada tipologi yang dimiliki persma saat ini. Itu, dilakukan entah karena ketakutan mereka terhadap pemerintah (dan juga birokrat kampus) atau memang sumber daya manusianya yang kurang. Sehingga, secara sadar atau tidak, mereka telah menjadikan persma sebagai  academic press. Dimana, isi perma hanya berkutat pada pemberitaan akademis (keilmuan).
Tapi, ada pula yang menjadikan persma sebagai concervative press. Persma memang memiliki misi dan visi jelas, hanya saja para aktivisnya mengambil jalan kompromi dalam pengelolaannya. Akibatnya, persma tak lebih hanya sebagai alat kehumasan –kepanjangan tangan birokrasi. Namun, ada pula yang memilih untuk menjadikan persma sebagai alat gerakan, seperti pendahulunya. Yakni, dengan menjadikan grassroot press, yaitu mereka selalu bergerilya dan dekat dengan ritme gerakan mahasiswa yang cukup radikal. Mereka enggan untuk melakukan kompromi.
Dan, satu hal lagi yang membikin persma “mati kutu” adalah adanya onani intelektual. Dimana, persma terbit, tak lebih hanyalah sekadar menurutkan hawa nafsu para pengurusnya. Mereka tidak mempertimbangkan audien (pembaca) yang dibidiknya. Lebih fatal lagi, persma dijadikan sebagai alat kelompok tertentu untuk mengambil pengaruh di kampus. Mestinya, persma terbit sebagai alat untuk menjembatani kesenjangan informasi yang terjadi di masyarakat kampus (mahasiswa).
Untuk itu, perlu kiranya dilakukan pembenahan-pembenahan apabila persma tidak ingin kehilangan elanvitalnya sebagai pers perjuangan. Pertama, perlunya pembenahan dalam hal pengelolaan penerbitan. Ini, terutama terkait dengan sistem manajemen, sumber dana, dan SDM. Kedua, penajaman isi materi dengan didukung data maupun fakta yang validitasnya tak diragukan. Ini, untuk menghindari keraguan pembaca. Ketiga, keberanian untuk menentukan segmen pembaca yang jelas. Sehingga, materi isi, tak melenceng dari sasaran tembak. Keempat, kesinambungan tranformasi. Dalam arti, pemahaman dan penyadaran harus dilakukan secara bertahap, mulai dari tahap kritis, politis dan ideologis. Kelima, kemampuan dalam menghindari kooptasi birokrasi. Karena tak akan ada gunanya bila kooptasi sangat kuat, sehingga menjadikan berita tak lebih dari fungsi kehumasan. Dan keenam, pencapaian kesadaran pengurusnya. Mereka harus mampu membedakan antara kepentingan pribadi, kelompok dan umum.
Nah, dengan melihat realitas yang ada saat ini, semoga saja persma tak hanya sekadar ada. Tetapi, hadir untuk membuat perubahan...!






0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons