Jumat, 08 Juli 2011

KEBEBASAN PERS DALAM TINJAUAN ISLAM


Oleh : Muhammad Hidayat

A. PENDAHULUAN
            Pers merupakan bagian dari komunikasi massa. Istilah pers ini digunakan untuk menunjukkan media massa tercetak, seperti koran, buletin dan majalah. Tetapi jika dikaitkan istilah pers dengan kegiatan jurnalistik, maka istilah inipun dapat digunakan untuk media massa elektronik, seperti televise dan radio. Sebab kini radio dan televise juga melakukan kegiatan jurnalistik.
            Fred S.Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Scramm dalam bukunya berjudul Four Theoris of the Press menyebutkan empat teori pers, yaitu; 
Authoritarian press, Lebertarian press, social responsibility press dan Soviet Communist perss. Khusus teori yang terakhir, Soviet Communist Press, sebenarnya pengembangan dari Authoritarian Press, sedangan Social Responsibility Press merupakan perkembangan dari Libertarian Press.
            Sejak studi komunikasi Islam berkembang muncul juga pertanyaan bagaimana sebenarnya Islam memandang press. Apakah Islam punya konsep tentang pers. Jika keempat teori diatas digunakan untuk menilai pers Islami maka pers Islami bisa disetarakkan dengan Social Responsibility Press. Tulisan ini menjelaskan tentang pers dalam pandangan Islam.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian dan Ciri Pers
            Istilah ”pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berati penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publications).[1] Dengan pengertian ini, istilah pers digunakan untuk media massa cetak, seperti koran, buletin dan majalah.
Istilah pers ini sangat berkaitan dengan kegiatan jurnalistik. Dari berbagai definisi,  jurnalistik adalah pengelolaan  laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat. Apa saja yang terjadi di dunia, apakah itu peristiwa faktual (fact) atau pendapat seseorang (opinion) jika diperkirakan akan menarik perhatian khalayak, akan merupakan bahan dasar dari jurnalistik, akan menjadi bahan berita untuk disebarluaskan kepada masyarakat.[2]
Jika dikaitkan dengan kegiatan jurnalistik, yaitu mencari dan menyiarkan berita, maka istilah pers tidak saja digunakan untuk media massa tercetak. Tetapi istilah pers juga dipakai untuk menyebutkan media massa elektronik. Sebab media massa elektronik, televisi dan radio, juga melakukan kegiatan jurnalistik.
            Sebagaimana dipahami, bahwa proses komunikasi massa cenderung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umumnya, medianya menimbulkan keserempakan dan komunikannya heterogen. Hal itu dipenuhi oleh media massa cetak maupun elektronik. Meski begitu masing media massa ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam penyajian berita. [3]
            Pers adalah lembaga kemasyarakatan (social institution). Sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama-sama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.


2. Empat Teori Pers
            Fred S.Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Scramm dalam bukunya berjudul Four Theoris of the Press menyebutkan empat teori pers, yaitu; Authoritarian press, Lebertarian press, social responsibility press dan Soviet Communist perss. Khusus teori yang terakhir, Soviet Communist Press, sebenarnya pengembangan dari Authoritarian Press, sedangan Social Responsibility Press merupakan perkembangan dari Libertarian Press.
2.1. Pers Otoriter[4]
            Perkembangan otoriterisme pada pertengahan abad ke-15 juga menyebabkan timbul satu konsep otoriter di kehidupan pers di dunia, berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang, dan negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin pada abad ke-16. Dengan prinsip dasar otorisme yang cukup sederhana bahwa pers hadir untuk mendukung negara dan pemerintah. Mesin cetak yang ketika itu baru diciptakan tidak dapat digunakan untuk mengecam dan menentang negara atau penguasa. Pers bertungsi secara vertikal dari atas ke bawah dan penguasa berhak menentukan apa yang akan diterbitkan atau disebarluaskan dengan monopoli kebenaran di pihak penguasa.
Konsep ini didukung oleh teori Hegel, Plato dan Karl Marx yang pada inti ajarannya (meskipun cenderung pada konsep sosialisme) mengagungkan negara sedemikian rupa dan berpendapat bahwa negara memiliki hak dan kewajiban untuk membela dan melindungi dirinya sendiri dengan segala cara yang dipandang perlu. Kekuatan pers yang diakui sebagai kekuatan keempat (fourth estate) menyebabkan negara atau penguasa mengalami phobia terhadap pers yang selalu menjadi pihak yang pertama tahu dan biang untuk menyebarkan kelemahan dan cela atau hal-hal yang merugikan negara atau penguasa.
Berkaitan dengan konsep otoriter yang tidak terlepas dari pemerintah atau penguasa, di mana selain bahwa media memiliki konsekuensi dan nilai ekonomi dan objek persaingan untuk memperebutkan kontrol dan akses. Maka dalam hubungannya dengan pemerintah atau penguasa, media massa dipandang sebagai alat kekuasaan yang efektif karena kemampuannya untuk melakukan salah satu (atau lebih) dari beberapa hal berikut:
·         Menarik dan mengarahkan perhatian
·         Membujuk pendapat dan anggapan
·         Mempengaruhi pilihan dan sikap
·         Memberikan status dan legitimasi
·         Medefinisikan dan membentuk persepsi realitas.
Dalam hubungan media massa dengan masyarakat, konsep otoriter ini mengambil dalih bahwa media massa merupakan corong penguasa, pemberi pendapat dan instruksi serta kepuasan jiwani. Media massa bukan saja membentuk hubungan ketergantungan masyarakat terhadap media itu sendiri tetapi juga dalam menciptakan identitas dan kesadaran.
Menurut C. W. Mills potensi media massa diarahkan untuk pengendalian nondemokratis yang berasal 'dari atas'. Teori Marxis menekankan kenyataan bahwa media massa pada hakikatnya merupakan alat kontrol kelas penguasa kapitalis. Sebagai suatu kelas yang mengatur produksi kelaskelas tersebut juga akhirnya menguasai dan menentukan gagasan pada masyarakatnya, maka gagasan mereka diidentikkan dengan gagasan penguasa. Orang yang berada dalam kelas ini adalah orang berada yang juga terjun dalam dunia politik.
Teori otoriter mengenai fungsi dan tujuan masyarakat menerima dalil-dalil yang menyatakan bahwa pertama-tama seseorang hanya dapat mencapai kemampuan secara penuh jika ia menjadi anggota masyarakat. Sebagai individu lingkup kegiatannya benar-benar terbatas, tetapi sebagai anggota masyarakat kemampuannya untk mencapai suatu tujuan dapat ditingkatkan tanpa batas. Atas dasar asumsi inilah, kelompol lebih penting daripada individu, karena hanya melalui kelompok seseorang dapat mencapai tujuannya. Teori ini telah mengembangkan suatu pemyataan bahwa negara sebagai organisasi kelompok dalam tingkat paling tinggi telah menggantikan individu dalam hubungannya dengan derajat nilai, karena tanpa negara seseorang tak berdaya untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia beradab.

2.2. Pers Liberal[5]
            Teori pers liberal atau juga dikenal dengan teori pers bebas pertama sekali muncul pada abad ke-17 yang merupakan reaksi atas kontrol penguasa terhadap pers. Teori pers liberal adalah merupakan perkembangan dari teori pers sebelumnya, yaitu teori pers otoriter yang jelas-jelas sangat didominasi oleh kekuasaan dan pengaruh penguasa melalui berbagai upaya yang sangat mengekang dan menekan keberadaan pers.
Selama dua ratus tahun pers Amerika dan Inggris menganut teori liberal ini, bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate (kekuasaan keempat) dalam proses pemerintahan setelah kekuasaan pertama: lembaga eksekutif, kekuasaan kedua: lembaga legislatif, dan kekuasaan ketiga: lembaga yudikatif.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authoritarianism di negara-negara komunis sedangkan di negara-negara nonkomunis timbul new libertarianism yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung jawab sosial.
Konsep pers yang diterapkan di Barat merupakan penyimpangan demokratis dari kontrol otoritarian tradisional. Perjuangan konstitusional yang panjang di Inggris dan Amerika Serikat lambat-laun telah melahirkan sistem pers yang relatif bebas dari kontrol pemerintah yang sewenang-wenang. Pada kenyataannya, definisi tentang kebebasan pers merupakan hak dari pers untuk melaporkan, mengomentari, dan mengkritik pemerintah. lni disebut "hak berbicara politik". Sejarah mencatat, fitnah yang menghasut berarti kritik terhadap pemerintah, hukum, atau pejabat pemerintah. Ketiadaan dalam suatu negara, fitnah yang menghasut sebagai  kejahatan dianggap sebagai ujian terhadap kebebasan menyatakan pendapat yang secara pragmatis dibenarkan sebab berbicara yang relevan secara politik merupakan semua pembicaraan yang termasuk dalam kebebasan pers.
Pers yang benar-benar bebas dan independen hanya ada di sebagian kecil negara-negara Barat yang memiliki karakter sebagai berikut:
1.      Suatu sistem hukum yang memberikan perlindungan yang berati bagi kebebasan sipil perorangan (di sini bangsa yang menerapkan common law, yaitu hukum yang menjamin kebebasan individu bagi rakyat untuk menyatakan pendapat, seperti Amerika Serikat dan Inggris) tampaknya menerapkan sistem pers yang lebih baik ketimbang Perancis atau Itali yang menerapkan tradisi civil law;
2.      Tingkat pendapatan rata-rata yang tinggi dalam : income per kapita, pendidikan melek-huruf;
3.      Pemerintahan dengan sistem multipartai, demokrasi parlementer atau sekurangkurangnya dengan oposisi politik yang sah;
4.      Modal cukup atau perusahaan swasta diperbolehkan mendukung media komunikasi berita;
5.      Tradisi yang mapan mengenai kemandirian jurnalistik.


2.3. Pers Bertanggung Jawab Sosial[6]
Pada hakikatnya fungsi pers dalam teori tanggung jawab sosial ini tidak berbeda jauh dengan yang terdapat pada teori libertarian namun pada teori yang disebut pertama terefleksi semacam ketidakpuasan terhadap interpretasi fungsifungsi tersebut beserta pelaksanaannya oleh pemilik dan pelaku pers dalam model libertarian yang ada selama ini.
Penganut libertarian mempercayai bahwa orang dapat mengetahui kebenaran saat mereka boleh memilih dan pers sebagai penyedia ide-ide/pasar ide. Mereka percaya bahwa media itu beragam dan independen dan orang-orang memiliki akses ke media.
Namun kenyataan yang terjadi adalah pers itu menjadi berorientasi profit, dimana lebih mengutamakan penjualan dan iklan di atas kebutuhan untuk menjaga publik mendapat informasi lengkap dan akurat sehingga membahayakan moral publik, melanggar hak-hak pribadi dan dikontrol oleh satu kelas sosio-ekonomi, yaitu kelas bisnis yang membahayakan pasar ide yang bebas dan terbuka.
Teori tanggung jawab sosial berasal dari Commission on Freedom of the Press sebagai reaksi atas interpretasi dan pelaksanaan model libertarian yang ada. Komisi tersebut merumuskan beberapa persyaratan pers sebagai berikut:
1.      Memberitakan peristiwa-peristiwa sehari-hari dengan benar, lengkap dan berpekerti dalam konteks yang mengandung makna.
2.      Memberikan pelayanan sebagai forum untuk saling tukar komentar dan kritik.
3.      Memproyeksikan gambaran yang mewakili semua lapisan masyarakat
4.      Bertanggung jawab atas penyajian disertai penjelasan mengenai tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
5.      Mengupayakan akses sepenuhnya pada peristiwa sehari-hari
Secara umum suatu berita haruslah mendukung konsep non-bias, informatif dan institusi pers independen yang akan menghindari penyebab ancaman terhadap kaum minoritas atau yang mendorong tindak kejahatan, kekerasan dan kekacauan sipil. Tanggung jawab sosial seyogyanya dicapai melalui self control/kontrol diri (dari pers itu), bukan dari pemerintah.
Tanggung jawab sosial jika dikaitkan dengan jurnalis melibatkan pandangan yang dimiliki oleh pemilik media yang serta merta akan dibawa dalam media tersebut haruslah memprioritaskan tiga hal yaitu keakuratan, kebebasan dan etika. Tak pelak lagi profesionalisme menjadi tuntutan utama disini. Jadi pelaku pers tidak hanya bertanggung jawab terhadap majikan dan pasar namun juga kepada masyarakat.

2.4. Pers Soviet Komunis
            Lahir pada era Uni Soviet Russia yang berkembang di negara-negara komunis Eropa Timur dan dikembangkan pula oleh Adolf Hitler di Jerman dengan Nazi-nya dan oleh Benito Mussolini di Italia dengan Fasisme-nya. Teori tersebut berdasar pada ajaran Marxisme, Leninisme, Stalinisme dan pembauran pemikiran Hegel serta cara  berpikir Russia abad 19.
Oleh karena ia merupakan produk dan alat penguasa soviet, maka tujuan media diarahkan untuk membantu dan berlangsungnya sistem Sosialisme Soviet, khususnya kelangsungan para diktator partai. Sehingga pengguna media massa hanya diperuntukkan bagi para anggota partai yang setia dan ortodoks. Akibatnya, media massa pun dikontrol dan diawasi dengan ketat seperti dilarang mengkritik tujuan partai dan kebijakan-kebijakannya.[7]
Partai menganggap dirinya sebagai suatu staf umum bagi masa pekerja. Menjadi doktrin dasar, mata dan telinga bagi massa. Negara Soviet bergerak dengan program-program paksaan dan bujukan yang simultan dan terkoordinir. Pembujukan adalah tanggung jawabnya para agitator, propagandis dan media.          Komunikasi massa digunakan secara instrumental, yaitu sebagai instrumen negara dan partai. Komunikasi massa secara erat terintegrasi dengan instrumen-instrumen lainnya dari kekuasaan negara dan pengaruh partai.  Komunikasi massa digunakan untuk instrumen persatuan di dalam negara dan di dalam partai. Komunikasi massa hampir secara eksklusif digunakan sebagai instrumen propaganda dan Agitasi. Komunikasi massa ini punya ciri adanya tanggungjawab yang dipaksakan
Teori Soviet Communist dikatakan bahwa pers Uni Soviet melayani partai yang sedang berkuasa dan dimiliki oleh negara. Orang-orang soviet mengatakan bahwa pers nya bebas untuk menyatakan kebenaran, sedangkan pers dengan apa yang dinamakan sistem liberal dikontrol oleh kepentingan bisnis.[8]

3. Sistem Pers Islam
Ada tiga hal utama yang menjadi perbedaan penting dari keempat model pers tersebut, yaitu kepemilikan media pers, muatan media pers, dan cara penyampaian media pers. Teori Pers Liberal dan Pers Tanggung Jawab Sosial memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk memiliki perusahaan pers. Kedua teori ini juga memberikan kebebasan untuk menyiarkan beragam berita-berita apapun. Pada pers Liberal penyensoran merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Hanya saja kedua teori mensyaratkan berita harus memenuhi unsur keseimbangan (balance). Pers harus memberikan ruang dan kesempatan yang sama bagi semua pihak yang diberitakan.
Bagi Pers Otoriter dan Soviet Komunis, pers merupakan alat kepentingan rejim penguasa. Pers merupakan alat yang menyampaikan pesan-pesan pemerintah kepada warganya. Warga negara tidak diberikan ruang dan kesempatan yang sama untuk mengoreksi sebuah pemberitaan.  Pers bukanlah sebuah institusi masyarakat yang menjadi penyeimbang di antara institusi masyarakat yang lain. Sebagaimana dipahami, di negara yang menganut paham demokrasi, pers dianggap sebagai kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Uraian berikut ini akan menerangkan pandangan Islam tentang pers dari tiga hal diatas, yaitu kepemilikan pers, isi media pers dan cara penyampaian. Islam adalah agama yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk memiliki sesuatu, termasuk memiliki sebuah perusahaan pers. Perusahaan pers tidak harus menjadi milik pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam Islam pers dibentuk bukan untuk mengabdi bagi kepentingan khalifah, tetapi pers merupakan alat dakwah untuk mengajak manusia kepada jalan Allah.
Dalam Alquran kita banyak menemukan ayat-ayat yang memerintahkan untuk berdakwah. Para ulama sepakat bahwa dakwah, mengajak kepada jalan Allah ini, menjadi kewajiban bagi siapapun. Dalam Tafsir Ar-Razi disebutkan bahwa: Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar kepada semua umat Islam. Tidak ada mukallaf (akil baligh) kecuali diwajibkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar, baik dengan tangan (kekuasaan), lisan atau hatinya.[9]
Berdakwah tidak sebatas dengan lisan atau komunikasi antar personal saja. Untuk menjangkau objek dakwah (mad’u), pendakwah harus memikirkan cara yang efektif, yaitu mendirikan sebuah perusahaan pers.  Karena itu orang-orang Islam yang memiliki modal harus membangun sebuah perusahaan pers dalam rangka kegiatan dakwah.
Berkaitan dengan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar itu, negara mempunyai kewajiban untuk membangun perusahaan pers. Sebab, pemerintah memiliki kemampuan – dari segi finansial dan kekuasaan – yang  lebih besar dibandingkan warga negara.
Jika pendirian perusahaan pers merupakan kegiatan dakwah, maka berita-berita yang dimuat oleh media pers harus berisi ajakan berbuat baik dan mencegah dari perbuatan munkar. Pers harus menjalankan fungsinya sebagai sarana pendidikan, fungsi informasi, dan sosial kontrol. Sebagai sarana pendidikan, pers harus yang mengajarkan beragam ilmu pengetahuan, dan bahaya kebodohan. Sebagai sarana informasi, pers harus memberikan peristiwa-peristiwa yang terjadi tanpa pembohongan. Sebagai sosial kontrol, pers bertugas sebagai sarana pemberi nasehat kepada siapa pun agar menghindarikan diri dari kejahatan. Sosial kontrol  dalam ajaran Islam bukan sebagai kontrol kebijakan pemerintah semata, tetapi semua lapisan masyarakat dalam sebuah tatanan negara.
Sebagai media komunikasi dalam dakwah, pers harus memenuhi standart tertentu yang diatur oleh Islam.  Standart yang harus dipenuhi pers dalam pemberitaan adalah; bersifat jujur, keakuratan informasi, bebas dan bertanggung jawab serta kritik yang membangun. Selain hal diatas pers Islami harus pula menghindarkan diri dari pemberitaan yang mengutuk orang lain, memandang remeh orang lain, membocorkan rahasia orang mengumpat, memuji berlebihan, memuat kata-kata kotor.[10]



C. PENUTUP
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
  1. Dalam pandangan Islam, pers merupakan sebagai alat mengajak orang berbuat baik dan mencegah dari berbuat munkar.
  2. Islam membenarkan individu dan negara memiliki perusahaan pers (cetak ataupun elekronik) sepanjang pers itu digunakan dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar.
  3. Pers harus memenuhi kaidah-kaidah komunikasi Islami dalam penyiaran pemberitaan.


Daftar Pustaka
Anam, Faris Khairul,  Fiqih Jurnalistik, Jakarta : Pustaka Alkautsar, 2009.
Ch.Herutomo, Perbandingan Sistem Pers,  Medan, USU Digital Libray, 2003
Effendy, Onong Uchyana , Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1984.
Kholil, Syukur,Komunikasi Islami, Bandung: Citapustaka Media, 2007.








[1] Onong Uchyana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung, Remaja Rosdakarya: 1984) h. 145.
[2] Ibid, h.151
[3] Ibid, h.145
[4] Ch.Herutomo, Perbandingan Sistem Pers (Medan, USU Digital Libray, 2003), h. 1 – 3.
[5] Ibid, h. 5 – 6.
[6] Ibid, h.
[9] Faris Khairul Anam, Fiqih Jurnalistik (Jakarta : Pustaka Alkautsar, 2009), h.20.
[10] Syukur Kholil,Komunikasi Islami (Bandung: Citapustaka Media, 2007) h. 25 -30.

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons