Oleh : Muhammad Mubarok
Jiwanya berdesir, sunyi tanpa rasa.
Air sungai masih keruh, sejak senja datang beberapa jam yang lalu. Warna langit sedikit kelam tertutupi mega yang menggantung. Sementara angin menyisir di pucuk dedaunan laksana jemari – jemari lentik perempuan yang sedang menari.
Ia duduk di atas tanggul, di bawahnya mengalir air dengan arus perlahan, yang mungkin memberi ketenangan pada hatinya di saat menemani telapak senja yang masih ada. Seorang pemuda berhati gundah.
Jalan setapak yang biasanya dilewati para penduduk kampung ini, telah ia tempati sebagai singgahan terfavorit ketika masa kecilnya dulu. Banyak peristiwa yang menjadikan kenangan baginya. Sekian lama ia tak kembali menginjakkan kakinya disini, di desa Prawoto. Sebuah desa yang jauh dari perkotaan “Bumi Mina Tani”. Baru hari ini ia datang dengan wajah senja.
Sungai ini tampak indah dengan beberapa tumbuhan yang tumbuh di sekitarnya. Dimasa kanak-kanak, ia sering berjiburan bersama teman-temannya. Sungai ini dijadikan temapt bermain sekaligus juga digunakan warga untuk mencuci pakaian, perabotan rumah tangga. Juga kadang ada orang berjualan kasur yang berhenti sejenak untuk mengambil air, guna membersihkan keringat. Ada juga yang menyisihkan waktu hanya sekedar memancing dengan harapan akan mendapatkan ikan yang banyak. Keceriaan terpancar dari raut wajah mereka yang berada di sungai ini, namun berbeda dengan yang ia rasakan saat ini. Sekarang, ia merindukan perempuan kecilnya.
Sungai yang indah, namun sangat menakutkan pada saat terjadi hujan deras. Sungai akan meluapkan air sehingga menggenangi daratan. Hal itu sangat mengkhawatirkan bila ada anak – anak bermain di sungai ini, karena mereka bisa terpeleset dan tercebur ke dalam sungai.
Dulu, pernah ada suatu peristiwa ketika senja datang. Cerita di kampung ini, ada seorang perempuan kecil yang bernama Ratih. Dia berusia 4 tahun. Ketika ibunya sedang pergi keluar ke rumah tetangganya, Ratih melihatnya dan berniat menyusul ibunya. Dia segera mengambil sepeda kecilnya dan menaikinya. Kemudian dia melewati sungai itu. Namun, tanpa sengaja ban sepedanya yang bagian belakang menginjak kerikil sehingga membuatnya terpeleset dan tercebur ke dalam sungai.
Dulu, pernah ada suatu peristiwa ketika senja datang. Cerita di kampung ini, ada seorang perempuan kecil yang bernama Ratih. Dia berusia 4 tahun. Ketika ibunya sedang pergi keluar ke rumah tetangganya, Ratih melihatnya dan berniat menyusul ibunya. Dia segera mengambil sepeda kecilnya dan menaikinya. Kemudian dia melewati sungai itu. Namun, tanpa sengaja ban sepedanya yang bagian belakang menginjak kerikil sehingga membuatnya terpeleset dan tercebur ke dalam sungai.
.Pada saat itu, tak seorangpun mengetahui kejadian itu. Hanya selang beberapa jam, hari sudah petang. Ibunya Ratih merasa cemas karena anaknya tak kunjung pulang. Hatinya gundah menanti kepulangan anaknya. Namun, karena anaknya tak kunjung pulang, hatinya pun bertanya-tanya. Letih.
“Ratih dimana Mas?” Ibunya bertanya pada sang ayah yang tengah menonton teve. Suaranya lirih. Sang ayah hanya berdiam diri di sampingnya.
Ruangan sempit itu, yang biasa ditempati Ratih untuk bermain terasa kosong. Karena tak ada Ratih di ruangan itu. “Tidak tahu.” Sang ayah baru menjawabnya. “Bukannya tadi mengikuti ibu?” Lanjutnya.
Sang ibu tercenganng. Seraut wajahnya kusam, bernafas tersengal-sengal. Mengatur nafas menandakan rasa lelah habis kerja. Ibunya hanya terdiam, tak ada jawaban. Kaget. Ia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Pikirannya kacau balau memikirkan anaknya yang tak ada di sampingnya saat ini. “Terus sekarang bagaimana Mas?” Suaranya mulai terdengar pelan, dan ia pun mulai meneteskan air mata. Anak kedua dari dua bersaudara itu kini telah hilang. Apa yang terjadi dengan Ratih? Terbesit pertanyaan itu di hati mereka.
“Kalau gitu sebaiknya mari kita cari sama – sama, Bu!” Sang kakak yang ada di sampingnya segera mengajak kedua orang tuanya. Setelah mendengarkan dari pembicaraan oarngtuanya bahwa Ratih, adiknya tak pulang. Mereka pun mencari Ratih ke seluruh kamar rumah. Kosong. Kemudian mereka mencari Ratih ke rumah tetangga sekitar dengan harapan bisa menemukan Ratih. Namun, tetangga sekitar mengatakan tidak mengetahui keberadaan Ratih. Kemudian, semua warga berusaha membantu mencari Ratih tapi mereka belum juga menemukannya.
Akhirnya, setelah sekian lama mencari, ada seorang warga yang melihat sebuah mayat mengapung di sungai. Orang itu pun segera memanggil warga lainnya untuk memastikan identitas mayat tersebut. Kemudian, beberapa warga turun ke sungai untuk mengambil mayat itu untuk dibawa ke daratan. Betapa terkejutnya sang ibu saat mengetahui bahwa mayat itu adalah Ratih yang sedang dicari – carinya.
***
Disini, ia masih sendiri menatap senja di atas tanggul, lesu. Dilihatnya Sungai yang masih keruh itu. Warnanya kecoklatan.Butek. Sembari melamun, “mengapa tak ku dapati wajahnya disini?” Batinya protes. Ya, seorang perempuan telah dirindukannya, debaran hati ingin ia lepaskan dari cepitan hatinya. Seorang adik yang tak terlihat wajahnya ketika ia tumbuh dewasa. Tidak seperti orang sekampungnya yang selalu makan, bersenda gurau, kumpul bersama keluarganya. Sebagai kakak ia merindukan kebersamaan itu.
Diantara teman-teman sekampungnya rata-rata memiliki kebahagian yang lengkap. mereka masih terhibur dengan adik-diknya, penuh sayang. Sedang ia? wajah adiknya saja, tidak diketahuinya. Padahal ia ingin melihat wajah adiknya ketika tumbuh dewasa. Apalagi mendapatkan pelukan sejuknya? Kemanakah perempuan yang selalu jadi temannya itu?
Sejak kecil, ia terbiasa mendapatkan seyuman dari seorang adik. "Ratih, adikku. Kakak sayang dan akan selalu menjagamu." Ia memanggil nama itu dengan akrabnya. Setiap pagi, ia mengasuh adiknya. Ia bersyukur dengan itu. Namun, kini ia merindukannya? Ternyata, adiknya tak kembali. Hari ini, sungguh tak membahagiakan dirinya. Sepi, dan hanya senja yang menemani. Hanya hembusan angin yang menusuk di setiap kepingan tulang tubuh, dan semilir kehangatannya dia rasakan.
Dulu bersama adiknya sering bermain disungai ini bersama anak-anak kampung. Tapi, mereka tak terlihat lagi, di hadapannya. Orang-orang penduduk kampung juga tak ada berlalulalang disini. Entah kenapa sungai ini sekarang jadi sunyi? keberadaaan mereka leyap? hanya telapak kakinya menemani senja yang masih ada. Ia sedikit kedinginan. Terpuruk karena mendambakan pelukan dari sang adik. Itu yang dialaminya saat ini. Karena telah ia tanggung dalam hatinya, berminggu-minggu, bertahun-tahun lamanya. Keramahan, kebahagiaan bersama keluarga, ingin ia dapatkan kembali. Tapi dimana?
Sudah hampir 3 minggu dari masa liburan kuliahnya, ia sering berada ditanggul ini, melihat senja datang berharap ada pertemuan antara Kakak dan Adik. Yaitu dirinya dan Ratih. Dilakukannya, Sebagai bentuk kerinduan dari seoarang Kakak pada Adiknya. Namun, apa yang bisa dilihatinya? bukan wajah ayu seorang Adik, namun hanya telapak kakinya yang mengantarkan ia bertemu senja.
*****
Apakah telapak kakinya mampu menjadi saksi yang nantinya mengarahkan kedalam muara kebahagian? Apa senja yang biasa ia lihat bisa memberikan seyuman padanya? ia sendiri disini. Sendiri. Sekarang hanya senja dan telapak kakinya yang ia jumpai. Kerinduan pada keluarga, hanya pasrah ia sandarkan pada_Nya.
“Ya allah hadirkan lah dia dalam khayalanku, dekatkanlah dia dari fikiranku. aku ingin memeluknya selalu dalam dekapannya.bukan hanya mimpi. Malu, aku malu pada temanku. Hanya anak kecil yang tak tahu diri, pun tak memiliki didikan. Kataku padamu. Kosong jiwaku. Berilah kesempatan dalam iringan doaku, aku butuh dia. Saat ini. Maafkan aku, Ya Allah. ” Doanya.
Langit cerah bukan berarti hujan tidak akan turun, dan Mendung bukan berarti hujan.. Tapi 'pelangi' hadir dilangit yang cerah, setelah awan tak lagi kelam, dan 'kerinduan' tanah akan hujan terobati. Air sungai berkejaran, merangkak di telapak senja. Mengusik bibir sungai debu keruh, didaratan. Datang, kemudian pergi, kemudian datang lagi, lalu pergi lagi, merangkak di telapak senja. Menabur buih-buih harapan, yang kemudian lenyap, menghilang di telapak senja. Membawa seberkas euforia yg semakin menjingga brsama terbenamnya matahari. Dan angannya pun berlalu di telapak senja.
Kemudian perempuan berwajah tua datang mendekatinya. "Panji, hari sudah petang. Ayo pulang, Nak?"
Jika hati terasa sepi, jika teman telah memberi dari cahaya pelangi. Hanyutlah segala sunyi. Kesempurnaan hati adalah ketika mampu menguasai diri dari kesepian dan kesendirian. Begitu anggap Panji.
diterbitkan di penerbit azam jaya press, jakarta.2011
0 komentar:
Posting Komentar