Senin, 12 November 2012

runtuhnya predikat mahasiswa


Runtuhnya Predikat (Maha)siswa

Mungkin, rasanya kita sudah sedikit bosan mendengar mahasiswa adalah agent of change, generasi penggerak serta perubahan dan sebagainya. Julukan-julukan di atas seolah telah tersemat secara otomatis saat kita telah berstatus sebagai mahasiswa. Tetapi benarkah  semudah itu mendapatkan julukan mahasiswa ?
Di negara berkembang seperti Indonesia ini, memiliki status sebagai mahasiswa menjadi kebanggaan tersendiri. Masih mahalnya biaya pendidikan serta rendahnya kesadaran masyarakat akan pendidikan di Indonesia menjadi faktor utama mengapa status sebagai mahasiswa patut kita syukuri. Ada harapan-harapan yang dibebankan pada mahasiswa yang berasal dari daerah agar kelak bisa membangun daerahnya. Namun ketika kita dihadapkan pada kenyataan,bila kita mengamati keseharian mahasiswa pada saat sekarang ini, apakah harapan itu masih dapat dipercayakan pada mereka , dengan berbagai fasilitas yang didapatkan dan kemajuan teknologi yang begitu pesat membuat serta tuntutan perekonomian,  banyak sekali mahasiswa yang menjadi skeptis dan masa bodoh pada lingkungannya, maka status mahasiswa sebagai agen perubahan pun dipertanyaakan.
Sebenarnya apabila kita mau melihat jauh lebih dalam, pergeseran nilai mahasiswa yang menjadi skeptis tidaklah sepenuhnya menjadi dosa mahasiswa itu sendiri. Bahkan, kadang-kadang ke-skeptisan mahasiswa tersebut adalah sebagai akibat dari seluruh sistem yang ada di dunia pendidikan. Dalam hal ini pemerintah dengan Undang-Udang Perguruan Tinggi (UU-PT) yang telah ditetapkan mesti ditinjau ulang.
Formalitas Lembaga Pendidikan
Sepertinya banyak dari kita yang pernah mendapat pertanyaan menyindir, “Sekolah cari ilmu atau ijazah?” Saya yakin hampir seratus persen jawabannya adalah mencari ilmu. Kemudian kita pun ditekankan oleh para pendidik seperti guru ataupun dosen agar bertujuan mencari ilmu dalam menjalani pendidikan formal kita, bahkan agamapun sangat menekankan pentingnya mencari ilmu. Tetapi, ketika mahasiswa itu lulus dan dituntut untuk mencari pekerjaan, maka ijazah dan nilai-nilai yang tertera di dalamnya menjadi syarat utama.
Hal ini membuat stigma bahwa jika ingin mendapat pekerjaan ya harus berijazah. Bahkan ijazah saja tak cukup, perlu ditunjang juga oleh nilai-nilai akademik yang bagus. Maka terciptalah anggapan bahwa ‘orang-orang yang cerdas secara akademiklah yang akan hidup mapan dan mendapat pekerjaan’.
Efek dari pola pemikiran seperti itu yang akan membuat kekhawatiran-kekhawatiran mahasiswa dan orangtua/wali mahasiswa. Para orang tua mahasiswa kemudian menekankan dan menuntut anaknya untuk memiliki prestasi akademik yang bagus agar masa depan mereka terjamin. Mahasiswa yang mendapat tuntutan seperti itu dari orangtuanya merasa berkewajiban untuk mewujudkan, maka jadilah ia studyholic. Meraka–yang meyakini itu–akan menganggap bahwa puncak prestasi adalah: ketika nilai-nilai akademisnya baik dan mengabaikan segala yang dapat mengahalangi meraih prestasi akademik. Termasuk mengabaikan fungsi utama dirinya sebagai mahasiswa yang sejatinya mengemban predikat agen perubahan dan sebagai motor perbaikan sosial serta pembawa kemajuan lingkungan masyarakatnya.
Selain itu, kekhawatiran tak memiliki nilai akademik yang baik juga dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal. Sekolah dan lembaga pendidikan formal berlomba-lomba memberi label pada instansinya: Sekolah Bertaraf Internatsional (SBI), Sekolah Standar Nasional (SSN) dan sebagainya. Tentu saja lembaga pendidikan yang memiliki label-lebel tersebut memiliki biaya yang lebih mahal. Lembaga pendidikan nonformal pun tak ketinggalan seperti Bimbingan Belajar (bimbel), Les Privat, Home Schooling dan sebagainya. Sudah bisa dipastikan bahwa lembaga pendidikan nonformal memiliki biaya yang mahal. Kekhawatiran seperti ini yang sekarang menjelma menjadi bisnis pendidikan.
Apa yang kemudian terjadi? Pelajar sibuk mengejar prestasi akademik. Pagi hingga sore sekolah. Sore hingga malam Les Privat atau Bimbel. Tak ada waktu bagi mereka untuk bersosialisasi dan melihat serta merasakan lingkungannya. Nilai-nilai empati dan kepedulian hilang dan lahirlah manusia-manusia Individualis, Hedonis, hingga Pragmatis. Dan sifat seperti ini terus berlanjut hingga statusnya naik menjadi mahasiswa.
Merebaknya Budaya Hedon
Entah seperti apa awalnya, saat ini budaya Hedon menjadi sangat populer. Menganggap bahwa kesenangan sebagai puncak kenikmatan berdampak pada sikap skeptis mahasiswa. Mahasiswa hanya peduli pada hal-hal yang membuat mereka senang dan tidak perlu berpikir keras. Permasalahan-permasalahan sosial serta rumit menjadi tidak menarik bahkan dianggap menyusahkan.
Tetapi,dalam hal ini kita juga tak bisa menyalahkan mahasiswa sepenuhnya. Kemajuan di bidang teknologi dan informasi misalnya (dalam hal ini adalah Televisi), yang memungkinkan banyak menularkan virus-virus tersebut kepada generasi muda penerus bangsa. Terlebih lagi anak-anak yang banyak melihat hal-hal yang berbau mindstream yang tanpa mereka sadari budayaan serta kearifan lokal mulai terlalaikan. Perilaku konsumtif tanpa sedikitpun upaya mem-filter tersebut telah terbukti sangat jauh dari apa yang nenek moyang kita ajarkan, kemudian membentuk sifat yang baru.
Pergeseran fungsi media dari fungsi pendidikan ke fungsi hiburan membuat media berlomba menayangkan acara semenarik mungkin dan mengabaikan efek-efek negatif dari tayangan demi keuntungan semata. Kesenangan yang ditayangkan media kemudian menjadi inspirasi kaum muda yang kemudian tanpa sadar mereka serap ke dalam diri mereka.
Maka, menjadi ironis jika kaum yang diharapkan dapat memberi perubahan positif justru terjerumus pada sikap skeptis. Pada akhirnya, status ‘mahasiswa’ menjadi sekedar ‘siswa’ di perguruan tinggi. Lalu, jika bukan kamu mahasiswa–yang diharapkan mampu menggerakan–lalu siapa lagi ?.

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons