Runtuhnya Predikat (Maha)siswa
Mungkin, rasanya kita
sudah sedikit bosan mendengar mahasiswa adalah agent of change, generasi
penggerak serta perubahan dan sebagainya. Julukan-julukan di atas seolah telah
tersemat secara otomatis saat kita telah berstatus sebagai mahasiswa. Tetapi
benarkah
semudah itu mendapatkan julukan mahasiswa ?
Di negara berkembang
seperti Indonesia ini, memiliki status sebagai mahasiswa menjadi kebanggaan
tersendiri. Masih mahalnya biaya pendidikan serta rendahnya kesadaran
masyarakat akan pendidikan di Indonesia menjadi faktor utama mengapa status
sebagai mahasiswa patut kita syukuri. Ada harapan-harapan yang dibebankan pada
mahasiswa yang berasal dari daerah agar kelak bisa membangun daerahnya. Namun
ketika kita dihadapkan pada kenyataan,bila
kita mengamati keseharian mahasiswa pada saat sekarang ini, apakah harapan itu
masih dapat dipercayakan pada mereka , dengan berbagai fasilitas yang
didapatkan dan kemajuan teknologi yang begitu pesat membuat serta tuntutan perekonomian, banyak sekali mahasiswa
yang menjadi skeptis dan masa bodoh pada lingkungannya, maka status mahasiswa
sebagai agen perubahan pun dipertanyaakan.
Sebenarnya apabila kita
mau melihat jauh lebih dalam, pergeseran nilai mahasiswa yang menjadi skeptis
tidaklah sepenuhnya menjadi dosa mahasiswa itu sendiri. Bahkan, kadang-kadang
ke-skeptisan mahasiswa tersebut adalah sebagai akibat dari seluruh sistem yang
ada di dunia pendidikan. Dalam hal ini pemerintah dengan Undang-Udang Perguruan
Tinggi (UU-PT) yang telah ditetapkan mesti ditinjau ulang.
Formalitas
Lembaga Pendidikan
Sepertinya banyak dari
kita yang pernah mendapat pertanyaan menyindir, “Sekolah cari ilmu atau
ijazah?” Saya yakin hampir seratus persen jawabannya adalah mencari ilmu.
Kemudian kita pun ditekankan oleh para pendidik seperti guru ataupun dosen agar
bertujuan mencari ilmu dalam menjalani pendidikan formal kita, bahkan agamapun
sangat menekankan pentingnya mencari ilmu. Tetapi, ketika mahasiswa itu lulus
dan dituntut untuk mencari pekerjaan, maka ijazah dan nilai-nilai yang tertera
di dalamnya menjadi syarat utama.
Hal ini membuat stigma bahwa jika ingin mendapat pekerjaan ya harus berijazah. Bahkan ijazah saja tak cukup, perlu ditunjang juga oleh nilai-nilai akademik yang bagus. Maka terciptalah anggapan bahwa ‘orang-orang yang cerdas secara akademiklah yang akan hidup mapan dan mendapat pekerjaan’.
Hal ini membuat stigma bahwa jika ingin mendapat pekerjaan ya harus berijazah. Bahkan ijazah saja tak cukup, perlu ditunjang juga oleh nilai-nilai akademik yang bagus. Maka terciptalah anggapan bahwa ‘orang-orang yang cerdas secara akademiklah yang akan hidup mapan dan mendapat pekerjaan’.
Efek dari pola pemikiran
seperti itu yang akan membuat kekhawatiran-kekhawatiran mahasiswa dan
orangtua/wali mahasiswa. Para orang tua mahasiswa kemudian menekankan dan
menuntut anaknya untuk memiliki prestasi akademik yang bagus agar masa depan
mereka terjamin. Mahasiswa yang mendapat tuntutan seperti itu dari orangtuanya
merasa berkewajiban untuk mewujudkan, maka jadilah ia studyholic. Meraka–yang meyakini
itu–akan menganggap bahwa puncak prestasi adalah: ketika nilai-nilai
akademisnya baik dan mengabaikan segala yang dapat mengahalangi meraih prestasi
akademik. Termasuk mengabaikan fungsi utama dirinya sebagai mahasiswa yang
sejatinya mengemban predikat agen perubahan dan sebagai motor perbaikan sosial
serta pembawa kemajuan lingkungan masyarakatnya.
Selain itu, kekhawatiran
tak memiliki nilai akademik yang baik juga dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga
pendidikan baik formal maupun nonformal. Sekolah dan lembaga pendidikan formal
berlomba-lomba memberi label pada instansinya: Sekolah Bertaraf Internatsional
(SBI), Sekolah Standar Nasional (SSN) dan sebagainya. Tentu saja lembaga
pendidikan yang memiliki label-lebel tersebut memiliki biaya yang lebih mahal.
Lembaga pendidikan nonformal pun tak ketinggalan seperti Bimbingan Belajar
(bimbel), Les Privat, Home Schooling dan sebagainya. Sudah bisa dipastikan
bahwa lembaga pendidikan nonformal memiliki biaya yang mahal. Kekhawatiran
seperti ini yang sekarang menjelma menjadi bisnis pendidikan.
Apa yang kemudian
terjadi? Pelajar sibuk mengejar prestasi akademik. Pagi hingga sore sekolah. Sore
hingga malam Les Privat atau Bimbel. Tak ada waktu bagi mereka untuk
bersosialisasi dan melihat serta merasakan lingkungannya. Nilai-nilai empati
dan kepedulian hilang dan lahirlah manusia-manusia Individualis, Hedonis,
hingga Pragmatis. Dan sifat seperti ini terus berlanjut hingga statusnya naik
menjadi mahasiswa.
Merebaknya
Budaya Hedon
Entah seperti apa
awalnya, saat ini budaya Hedon menjadi sangat populer. Menganggap bahwa
kesenangan sebagai puncak kenikmatan berdampak pada sikap skeptis mahasiswa.
Mahasiswa hanya peduli pada hal-hal yang membuat mereka senang dan tidak perlu
berpikir keras. Permasalahan-permasalahan sosial serta rumit menjadi tidak
menarik bahkan dianggap menyusahkan.
Tetapi,dalam hal ini kita
juga tak bisa menyalahkan mahasiswa sepenuhnya. Kemajuan di bidang teknologi
dan informasi misalnya (dalam hal ini adalah Televisi), yang memungkinkan
banyak menularkan virus-virus tersebut kepada generasi muda penerus bangsa.
Terlebih lagi anak-anak yang banyak melihat hal-hal yang berbau mindstream yang
tanpa mereka sadari budayaan serta kearifan lokal mulai terlalaikan. Perilaku
konsumtif tanpa sedikitpun upaya mem-filter tersebut telah terbukti sangat jauh
dari apa yang nenek moyang kita ajarkan, kemudian membentuk sifat yang baru.
Pergeseran fungsi media
dari fungsi pendidikan ke fungsi hiburan membuat media berlomba menayangkan
acara semenarik mungkin dan mengabaikan efek-efek negatif dari tayangan demi
keuntungan semata. Kesenangan yang ditayangkan media kemudian menjadi inspirasi
kaum muda yang kemudian tanpa sadar mereka serap ke dalam diri mereka.
Maka, menjadi ironis jika
kaum yang diharapkan dapat memberi perubahan positif justru terjerumus pada
sikap skeptis. Pada akhirnya, status ‘mahasiswa’ menjadi sekedar ‘siswa’ di
perguruan tinggi. Lalu, jika bukan kamu mahasiswa–yang diharapkan mampu menggerakan–lalu
siapa lagi ?.
0 komentar:
Posting Komentar