Sabtu, 09 Oktober 2010

Menulis di SMA

A. Pendahuluan


John P. Riebel dari California State Polytechnic College membagi karangan menjadi dua jenis, yaitu Imaginative Writing dan Factual Writing. Imaginative Writing merupakan perwujudan dunia subjektif penulisnya dan dimaksudkan untuk membangkitkan  suatu perasaan tertentu atau menggerakkan hati pembaca. Factual Writing merupakan rekaman fakta objektif di luar pengarang dan semata-,mata bermaksud menyampaikan informasi kepada pembaca. Fakta adalah segala sesuatu yang dapat dibuktikan atau dirasakan oleh salah satu pancaindra manusia. Jadi, Factual Writing mengandung isi bahan informasi yang memberikan keterangan, penjelasan, atau petunjuk mengenai sesuatu hal kepada para pembaca.
 Factual Writing dapat dibagi lagi menjadi dua golongan besar, yaitu Scientific Writing dan Informative Writing. Tergolong dalam Scientific Writing antara lain buku, laporan penelitian, makalah, dan artikel ilmiah, sedangkan yang tergolong dalam Informative Writing berupa berita, kisah perjalanan, riwayat hidup, dan laporan peristiwa.
Kompetensi menulis di SMA tidak saja dibatasi pada berbagai jenis karangan tersebut, tetapi juga menulis secara teknis. Baik menulis secara substantif maupun menulis secara teknis membutuhkan pelatihan yang kuat untuk mewujudkannya. Hal ini tentu saja berimplikasi pada proses pembelajarannya.

B. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
 
Standar kompetensi dan kompetensi dasar menulis di SMA (kelas umum) terperinci sebagi berikut.
 
Kelas  X

Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1.    Mengungkapkan informasi dalam berbagai bentuk paragraf (naratif, deskriptif, ekspositif)
1.   Menulis gagasan dengan menggunakan pola urutan waktu  dan tempat dalam bentuk paragraf naratif 
2.   Menulis hasil observasi dalam bentuk  paragraf deskriptif  
3.   Menulis gagasan secara logis dan sistematis dalam bentuk ragam paragraf  ekspositif 
2.    Mengungkapkan pikiran, dan perasaan  melalui kegiatan menulis  puisi 

1.   Menulis puisi lama dengan memperhatikan bait, irama, dan rima
2.   Menulis puisi baru dengan memperhatikan bait, irama, dan rima
3.    Mengungkapkan informasi melalui  penulisan paragraf dan teks pidato
1.   Menulis gagasan untuk mendukung suatu pendapat dalam bentuk paragraf argumentatif
2.   Menulis gagasan untuk meyakinkan atau mengajak pembaca bersikap atau melakukan sesuatu dalam bentuk paragraf  persuasif
3.   Menulis hasil  wawancara ke dalam beberapa paragraf dengan menggunakan ejaan yang tepat
4.   Menyusun  teks pidato 
4.    Mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam  cerpen
1.   Menulis karangan berdasarkan  kehidupan diri sendiri dalam   cerpen (pelaku, peristiwa, latar)
2.   Menulis karangan berdasarkan  pengalaman orang lain dalam   cerpen (pelaku, peristiwa, latar)








Kelas XI
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1.    Mengungkapkan informasi dalam bentuk  proposal, surat dagang, karangan ilmiah
1.    Menulis proposal  untuk  berbagai keperluan   
2.    Menulis surat dagang dan surat kuasa
3.    Melengkapi karya tulis dengan daftar pustaka dan catatan 
2.    Mengungkapkan infomasi   melalui  penulisan  resensi   
1.    Mengungkapkan prinsip-prinsip penulisan  resensi 
2.    Mengaplikasikan prinsip-prinsip penulisan resensi 
3.    Mengungkapkan informasi dalam bentuk rangkuman/ringkasan,  notulen rapat, dan    karya ilmiah
1.    Menulis rangkuman/ringkasan isi buku 
2.    Menulis notulen rapat sesuai dengan pola  penulisannya
3.    Menulis karya ilmiah seperti hasil pengamatan, dan penelitian 
4.    Menulis naskah  drama   

1.   Mendeskripsikan perilaku manusia melalui dialog naskah drama
2.   Menarasikan pengalaman manusia  dalam bentuk adegan dan latar pada naskah drama







Kelas XII

Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1.    Mengungkapkan infomasi dalam bentuk   surat dinas, laporan, resensi 



1.    Menulis surat lamaran pekerjaan berdasarkan unsur-unsur dan struktur
2.    Menulis surat dinas berdasarkan isi, bahasa, dan format yang baku
3.    Menulis laporan diskusi dengan melampirkan notulen dan daftar hadir
4.    Menulis resensi buku pengetahuan berdasarkan format baku
2.    Mengungkapkan pendapat, informasi, dan pengalaman dalam bentuk resensi dan cerpen
1.    Menulis resensi buku kumpulan cerpen berdasarkan unsur-unsur resensi
2.    Menulis cerpen  berdasarkan kehidupan orang lain (pelaku, peristiwa, latar)
3.    Mengungkapkan pikiran, pendapat, dan informasi dalam penulisan karangan berpola
1.   Menulis karangan berdasarkan topik tertentu dengan pola pengembangan deduktif dan induktif 
2    Menulis esai berdasarkan topik tertentu dengan pola pengembangan pembuka, isi, dan penutup
4.    Mengungkapkan pendapat dalam bentuk  kritik dan esai

1.   Memahami prinsip-prinsip penulisan kritik dan esai
2.   Menerapkan prinsip-prinsip  penulisan kritik dan esai  untuk mengomentari  karya sastra 

Adapun standar kompetensi dan kompetensi dasar menulis di SMA (kelas bahasa) terperinci sebagai berikut.

Kelas XI

Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1.    Mengungkapkan pengalaman   dalam puisi, cerita pendek, dan drama
1.   Menulis puisi berdasarkan pengalaman atau pengamatan
2.   Menulis cerita pendek berkenaan dengan kehidupan seseorang dengan sudut penceritaan orang ketiga
3.   Menulis drama pendek berdasarkan cerita pendek atau novel
2.    Mengungkapkan pikiran, perasaan, informasi, dan pengalaman dalam kegiatan produksi dan transformasikan bentuk karya sastra
1.   Mengarang cerpen berdasarkan realitas sosial
2.   Menyadur cerpen ke dalam bentuk drama satu babak
3.   Menggubah penggalan hikayat ke dalam cerpen




Kelas XII

Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
1.    Menguasai huruf Arab-Melayu untuk kegiatan transliterasi/transkripsi dan telaah naskah lama
1.    Mengalihkan teks aksara Arab-Melayu ke dalam aksara Latin
2.    Menulis kembali cuplikan  sastra Indonesia klasik dari teks berhuruf Arab-Melayu ke dalam huruf Latin

2.    Menulis esai  dan kritik sastra   
1.    Mengetahui prinsip-prinsip penulisan kritik dan esai
2.    Penerapan  prinsip-prinsip penulisan esai dalam penulisan  esai tentang cerita pendek karya sastra terjemahan
3.    Penerapan  prinsip-prinsip penulisan kritik dalam penulisan  kritik tentang berbagai bentuk karya sastra Indonesia

Berdasarkan paparan di atas terlihatlah bahwa materi menulis di SMA, baik untuk kelas umum maupun kelas bahasa, mencakupi (1) menulis narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi, (2) menulis teks pidato, (3) menulis proposal, (4) menulis rangkuman, (5) menulis notulen, (6) menulis karya ilmiah, (7) menulis sastra (puisi, prosa, dan drama), (8) menulis resensi, dan (9) menulis esai.


C. Menulis Prosa
Model yang saya coba tawarkan di sini bersifat formal, yaitu menulis prosa itu terdiri atas tiga tahapan, yaitu prapenulisan, saat penulisan, dan pascapenlisan. Tahap prapenulisan yang harus kita lakukan adalah mencari ide untuk menentukan topik yang akan kita tulis, menentukan calon pembaca, dan memilih bentuk tulisan. Tahap saat penulisan diartikan sebagai pengembangan gagasan menjadi sebuah cerita seperti yang kita inginkan. Tahap pascapenulisan mencakupi aktivitas pengeditan dan  tindak lanjut.

Menentukan ide/gagasan
Banyak orang kebingungan untuk memulai menulis. Alasannya sederhana: tidak ada ide. Ketika akan memulai menulis, banyak orang termenung dalam waktu lama. Alasannya: sedang mencari ide. Apakah ide menjadi begitu pentingnya dalam menulis sehingga orang sampai termenung, berkerut, atau kadan-kadang melakukan hal-hal yang aneh hanya untuk mendapatkan ide?
Ide memang penting. Karena tanpa ide kita tidak akan bisa menulis. Hanya yang sering salah ditangkap oleh orang adalah anggapan bahwa ide itu harus merupakan sesuatu yang hebat, sesuatu yang besar, sesuatu yang istimewa, atau bahkan sesuatu yang harus diperoleh dengan cara yang aneh. Untuk menulis, sesungguhnya ide tidak harus yang besar. Hal yang amat sedrhana pun bisa menjadi ide dalam tulisan. Di sekitar kita banyak ide yang dapat kita peroleh untuk menulis. Karena itu—kata AS Laksana—kalau ada orang mengatakan susah mendapatkan ide, sebenarnya ia hanya tidak terbiasa atau tidak tahu apa sebenarnya ide itu. Kita bisa menengok ke arah mana pun, dan di situlah kita akan memperoleh ide. Yang perlu kita latih sebenarnya kepekaan kita untuk menangkap ide yang berseliweran di sekitar kita. Ringkik kuda, bagi kebanyakan orang mungkin dianggap sebagai hal yang biasa, tidak aneh, atau tidak istimewa. Tapi, bagi orang yang peka, bisa menjadi ide yang menarik dalam penulisan novel atau skenario film. Konon, George Lucas yang telah melahirkan Star Wars mempunyai pengalaman menarik dengan sampah. Setelah beberapa waktu buntu memikirkan seperti apa sebaiknya wujud makhluk angkasa luar yang hendak ia munculkan dalam filmnya, ia berjalan-jalan dan iseng-iseng mengorek tempat sampah. Di sana ia menemukan boneka bebek yang terbakar, dan itulah yang memberinya inspirasi tentang wujud makhluk angkasa luar yang telah lama menyiksa pikirannya.
Lalu, bagaimana caranya supaya kita bisa memperoleh ide?
Ada berbagai macam pengalaman para penulis terkenal untuk mencari ide. Linus Suryadi Agustinus konon akan mendapat ide banyak untuk menulis pada bulan-bulan yang berakhir dengan huruf /r/ seperti September, Oktober, November, dan Desember. Agatha Christie konon suka berendam di bak mandi ketika mencari ide. AA Navis bahkan suka berlama-lama di WC untuk mendapatkan ide. Sutardji Calzoum Bachri harus minum bir berbotol-botol untuk kemudian dapat berkarya. Putu Wijaya lebih senang tinggal di dalam rumah, tidak bersentuhan dengan dunia luar ketika harus menulis. Joko Pinurbo, memerlukan berpuluh-puluh kepulan asap rokoh untuk melahirkan puisi.
Apakah kita juga harus melakukan hal-hal demikian untuk memperoleh ide? Silakan saja. Itu hanya cara. Masing-masing orang berhak untuk memilih cara dan model ddalam memperoleh ide. Namun, ada kata-kata bijak dari YB Mangunwijaya tentang pemerolehan ide ini. Katanya ”...si penulis harus berniat sungguh-sungguh untuk menulis sesuatu yang penuh kedalaman, jangan jenuh mengisi diri sendiri dengan mata dan telinga terbuka, agar menangkap peristiwa serta hikmah dari siapa pun. Sebab, karangan yang baik hanya dapat datang selaku luapan jiwa yang sudah penuh sebelumnya”.
Jadi, dari mana pun dan kapan pun sebenarnya kita bisa memperoleh ide untuk menulis.

Menentukan pembaca
Siapa yang akan membaca tulisan kita? Anak-anakkah? Orang dewasakah? Ibu-ibukah? Jawaban ini amat penting karena pembaca akan menentukan kedalaman, model, dan bahasa tulisan kita. Kita tidak mungkin menuliskan sesuatu yang tidak dibutuhkan atau tidak disenangi oleh pembaca, bukan? Kita tidak mungkin menuliskan sesuatu dengan bahasa yang tidak ”akrab” di telinga atau mata pembaca, bukan? Itulah pentingnya pembaca.
Menulis merupakan aktvitas berkomunikasi. Ada empat unsur dalam berkomunikasi, yaitu komunikan, komunike, pesan, dan media yang digunakan. Keempatnya harus menyatu supaya komunikasi dapat berjalan dengan baik. Kalau salah satu unsur tidak beres, aktivitas berkomunikasinya pun akan menjadi kurang atau bahkan tidak beres.

Memilih bentuk tulisan
Apakah kita akan menulis cerita anak? Novel Remaja? Cerpen? Itu yang kemudian harus kita tentukan, karena masing-masing bentuk memiliki model dan corak yang berbeda. Cerita anak akan menekankan pada nilai dan peluang fantasi anak. Cerpen akan memusatkan pada satu prsoalan. Novel akan memusatkan pada perkembangan karakter tokoh dan alur cerita. Kita sebagai penulis harus memilih bentuk tulisan, karena di situlah kita akan mengembangkan ide yang telah kita miliki.

Mengembangkan ide menjadi tulisan
Ada beberapa nasihat dari AS Laksana untuk mengembangkan ide menjadi sebuah tulisan, apakah itu cerpen atau novel (ini ia praktikkan di Jakarta Schooll untuk mata pelajaran Creative Writing).

Strategi tiga kata
Hanya dibutuhkan tiga kata untuk memulai tulisan. Dari tiga kata itulah kita bisa membuat tulisan yang panjang sesuai dengan yang kita inginkan. Juga, dari tiga kata itulah kita akan terhindarkan dari model pembukaan cerita yang membosankan seperti: Pada zaman dulu kala, ... Pada suatu hari, ... atau semacamnya.
Sebagai contoh, misalnya, kita mempunyai tiga kata: buku, kucing, dan nasib. Ketiga kata tersebut dapat kita kembangkan menjadi awal cerita sebagai berikut.

Nasib buruk menimpanya sekali lagi dan itu tak terlalu membuatnya kecewa. Anang sudah maklum bahwa ia memang ditakdirkan bersnasib buruk. Buku primbon yang dibacanya menyebutkan seperti itu. Bentuk tulang pipinya, kelopak matanya, dan lengkung bibirnya, menurut buku primbon itu, akan selalu membawa celaka kepadanya. Ia semula tidak ingin mempercayai apa yang dibacanya. Namun seorang peramal yang didatanginya juga mengatakan hal serupa dengan kalimat lain. Peramal itu bilang bahwa simbol dirinya adalah kucing kurus yang ditendang oleh siapa saja. Dan apa yang dikatakan oleh peramal itu memang terbukti berkali-kali. Ia bahkan pernah ditampar oleh tentara tanpa ada kesalahan yang dilakukannya. Tentara itu ternyata salah tampar; ia mengira Anang adalah orang yang beberapa hari sebelumnya terlibat perkelahian dengan adiknya. Memang akhirnya si tentara meminta maaf, tetapi muka Anang terlanjur lebam...

Menulis, lalu mengedit
Kesalahan yang banyak dilakukan oleh orang adalah menulis sekaligus mengedit. Akibatnya, ketika menulis, yang dipikirkan adalah pekerjaan pengedit: tentang kalimat yang benar, ejaan, dan sebagainya. Dengan demikian, pekerjaan yang sesungguhnya, yaitu menuliskan gagasan yang ada dalam pikiran, sering terabaikan. Karena itu, ketika kita menulis, menulislah. Sesederhana apa pun tulisan kita akan lebih baik daripada tidak ada tulisan sama sekali. Setelah tulisan jadi, langkah berikutnya barulah mengedit. Kalau kita tidak menghasilkan tulisan, lalu, apa yang harus kita edit?

Tunjukkan, jangan ceritakan
Dalam psikologi dikenal kerucut Dale. Dalam pandangan Dale, pengalaman langsung adalah pengalaman yang susah dilupakan, susah ditingalkan. Karena itu, dalam menulis cerita, agar kesan pada pembaca selalu melekat, kita berkewajiban menunjukkan, jangan hanya menceritakan. Misalnya saja, kita akan melukiskan seseorang yang baik hati pada teman-temannya. Kita tidak cukup hanya mengatakan, misalnya, ia adalah gadis yang baik hati. Baik hati pada teman-temannya. Tetapi, akan lebih baik kalau kita menunjukkan bagaimana gadis itu menyapa teman-temannya, bagaiman ia akan selalu menengok temannya yang sakit, bagaimana ia menghibur teman-temannya yang sedih, atau aktivitas-aktivitas lain yang mampu menunjukkan kebaikhatian gadis itu.
Cobalah perhatikan deskripsi berikut.

Doni meyantap sarapannya, kemudian mandi dan pergi ke warung. Di warung ia bertemu dengan seorang gadis dan mereka bercakap-cakap beberapa waktu. Doni menyukainya, tetapi gadis itu menolak cintanya. Kemudian Don kembali ke rumah.

Norak , bukan? Mengapa? Karena pelukisan itu tidak terperinci. Penulis hanya menceritakan bahwa Doni jatuh cinta pada gadis yang baru saja ditemuinya. Penulis tidak menunjukkan bagaimana proses Doni jatuh cinta sehingga tanpa dikatakan pun pembaca mengetahui bahwa Doni telah jatuh cinta. Bedakan deskripsi di atas dengan pengembangannya berikut ini.

Doni menatap makanan yang sudah menjadi dingin di depannya. Empat hari lalu ia makan di tempat ini dan seorang pelayan rumah makan secara tak sengaja menyenggol meja dan menumpahkan minumannya. Gadis itu meminta maaf dan buru-buru mengeringkan genangan minuman di meja. Sejak peristiwa itu, senyum dan aroma gadis itu seperti terus mendekam di dadanya.
 Kini ia datang lagi dan berharap bisa bertemu lagi dengan gadis itu, bertukar senyum, dan, jika memungkinkan, berkenalan dengannya. Tapi gadis itu tak ada. Sudah dua jam ia duduk di rumah makan ini dan gadis itu tak tampak sama sekali. Akhirnya, dengan gerak malas, ia menyantap makanan yang dipesannya dan memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu.
Keika ia baru mau bangkit dari tempat duduknya, tiba-tiba tercium olehnya aroma segar seperti yang sudah dikenalnya sangat lama. Ia menolehkan kepalanya mencari sumber wewangian. Gadis yang dinantinya berdiri di ambang pintu sedang melangkah masuk.
”Hai!” sapa gadis itu, suaranya terdengar lembut dan matanya begitu cerah.
Doni tak tangkas menjawab sapaan itu. Mulutnya terkunci beberapa detik dan kemudian tersenyum dengan cara yang ia rasakan sendiri tidak wajar. Ia ingin duduk lagi, tapi sudah terlanjur hendak keluar...

Gunakan lima indra
Tujuan deskrpsi adalah agar pembaca dapat mendengar, melihat, mencium, dan merasakan sesuatu seperti yang didengar, dilihat, dicium, dan dirasakan oleh penulis. Jika kolaborasi lima indra itu tidak kita gunakan bersama dalam mendeskripsikan sesuatu dalam cerita, maka akibatnya deskripsi kita tidak akan hidup. Mungkin pembaca hanya mendengar dan melihat, tetapi tidak merasakan. Mungkin hanya merasakan, tetapi tidak mampu melihat. Agar deskripsi tersebut secara penuh dapat tercapai, saran yang dapat dikemukakan adalah gunakan kelima indra yang kita miliki. Jika, misalnya, benar-benar ada indra keenam, akan lebih baik juga jika digunakan.
Cobalah perhatikan deskripsi berikut.

Lelaki itu mengendap-endap di kegelapan. Rumah yang ditujunya tampak seperti bongkahan hitam. Pintu rumah itu tertutup namun tidak dikunci seperti yang sudah dijanjikan oleh perempuan pemilik rumah. Ia mendorong pintu yang tidak terknci dengan ujung jari. Rumah itu betul-betul gelap dan matanya tidak bisa melihat apa-apa. Di lorong masuk, tiga saudara lelaki wanita itu tidur di tempat tidur gantung dalam posisi sedemikian rupa sehingga tidak tampak. Dan ia menabrak tali salah satu tempat tidur gantung yang agak rendah. Lelaki yang tidur di situ membalikkan badan.

Mungkin deskripsi tersebut sudah cukup menggambarkan setting, aktivitas, serta suasana cerita. Tetapi akan berbeda rasanya kalau deskripsi tersebut kita ubah seperti berikut.

Lelaki itu mengendap-endap di kegelapan. Telinganya menangkap dengkur nafas saudaranya, batuk ayahnya di kamar sebelah, suara bengek nafas ayam di kandang, dengung nyamuk, detak jantungnya sendiri, dan segala jenis keributan yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Perempuan pemilik rumah itu sudah berjanji akan merapatkan saja pintu rumahnya dan tidak menguncinya, namun ia berharap lebih dari itu. Ia ingin pintu itu terbuka lebar-lebar. Tapi pintu itu tertutup, hanya saja tidak terkunci seperti janji perempuan itu. Ia mendorong pintu yang tidak terkunci itu dengan ujung jari, dan engsel pintu mengeluarkan suara seperti rintihan, yang menembus dada dan tinggal di hatinya seperti gema yang membeku. Saat ia melangkah masuk dan berusaha tidak membuat keributan, langsung tercium olehnya bau apek yang sangat ia kenal. Di lorong masuk, tiga saudara lelaki wanita itu tidur dalam posisi sedemikian rupa sehinga tak tampak. Kakinya meraba-raba dalam gelap dan ia merasa menemukan arah yang benar menuju ke kamar perempuan itu. Ia menemukan pintu kamar perempuan itu. Dan ia menabrak tali salah satu tempat tidur gantung yang agak rendah. Lelaki yang tidur di situ, yang dengkurnya terdengar seperti suara dari zaman purba, membalikkan badan dan bergumam, ”Ini hari Rabu” (Seratus Tahun Kesunyian, Gabriel Garcia Marques).


Mengedit tulisan
Kalau tulisan sudah selesai, paling tidak menurut kita selesai, langkah yang harus kita tempuh berikutnya adalah melakukan pengeditan. Apa yang harus ita laukan dalam pengeditan?
Pertama, kita akan melihat kembali apakah tulisan yang kita lahirkan sesuai dengan ide awal yang kita inginkan. Kalau tidak sesuai? Apakah harus kita ulang tulisan itu? Nanti dulu. Ketidaksesuaian tulisan dengan ide awal tidak selalu menjadi lebih buruk. Kalau perubahan dari ide awal ternyata melahirkan tulisan yang lebih baik daripada yang kita pikirkan, apa salahnya kita terima tulisan itu. Toh itu tulisan kita sendiri. Kalau kurang sesuai, mungkin kita bisa menambahkan, menguatkan, atau bahkan mengurangi sehingga tulisan menjadi seperti yang kita inginkan.
Kedua, kita akan melihat bahasa yang kita gunakan sendiri. Apakah bahasa yang kita gunakan sudah sesuai dengan sasaran yang akan kita tuju atau belum. Selain itu, apakah bahasa yang kita gunakan sudah bagus, logis, dan komunikatif atau belum. Pilihan kata, kalimat, dialog, aau apa pun yang menyangkut bahasa dalam cerita itu kita baca ulang untuk memperbaikinya.
Ketiga, kita akan melihat bagian-bagian cerita. Bukankah akan sangat membosankan jika cerita yang kita hasilkan bersifat monoton? Karena itu kita akan melihat kembali alur cerita yang sudah ada. Adakah bagian-bagian alur yang mampu membuat cerita yang kita tuliskan itu tidak saja logis hubungan antarkomponen ceritanya, tetapi juga lengkap dan tersusun secara harmonis?


D. Menulis Puisi

Kasus 1:
Suatu malam, hujan begitu lebatnya. Listrik kebetulan mati. Saya, istri, dan anak-anak saya kemudian duduk di teras. Langit tampak gelap. Bulan, apalagi bintang, tak kelihatan. Sementara itu, di parit depan rumah, terdengar suara air yang begitu derasnya.
Dalam kesunyian seperti itu tiba-tiba anak saya bertanya: “Ma, apa di atas langit ya, hujan? Listriknya juga mati?” Istri saya menjawab sekenanya: “Ya, sama saja.”
Setelah sekian lama ternyata hujan pun tidak reda dan listrik pun tidak menyala. Anak saya kemudian merasa ketakutan. Takut pada kegelapan malam itu. Dan kemudan, istri saya pun menuntunnya untuk tidur sambil mengatakan: “Ndak apa-apa. Yuk, tidur!”.
Peristiwa  itu, beberapa hari kemudian, ketika seorang teman meminta saya membuat puisi untuk materi lomba baca puisi tingkat SD, saya rekonstruksi dengan masih tetap menggunakan kacamata anak saya menjadi puisi seperti di bawah ini.


SAAT HUJAN DATANG

mama,
malam ini taklagi kulihat kunang-kunang
yang dengan cahaya tubuhnya
berputar-putar di depan rumah
mungkinkah mereka kedinginan
karena hujan terus-menerus berjatuhan
ataukah karena halaman rumah ini
yang tak lagi mampu menyalakan cahayanya

angin masih saja berhembus
membawa suara-suara burung malam
yang terbatuk-batuk karena hujan
membawa riak-riak gelombang laut
yang keruh karena hujan
membawa kesunyian malam
yang beku karena hujan

lihatlah, mama
bulan di atas pun tak lagi tampak
langit yang hitam pekat
telah mengurungnya
adakah yang bisa dikerjakan dewa-dewa di atas sana
dalam gulita seperti ini, mama
tak ada tangis, memang
tak ada rintih, memang

tapi kegelapan ini
jauh lebih menusuk hati
ketimbang tangis dan rintihan para dewa

mama,
tersenyumlah
agar kunang-kunang dan rembulan
tak lagi tenggelam dalam kegelapan malam

Kasus 2:
Kurang lebih lima belas tahun yang lalu ada seorang teman datang ke rumah. Ia meminta saya untuk membuatkan puisi yang akan ia baca pada saat perpisahan dengan kepala sekolahnya. Menurutnya, kepala sekolahnya itu—wanita—adalah kepala sekolah yang baik dan berpikiran maju. Berbagai pembaharuan dilakukan olehnya.  Pendek kata, teman saya itu tampaknya sangat berkesan pada sang kepala sekolah. Namun, baru dua tahun kepala sekolah itu berada di SMP-nya, ternyata ia harus pindah ke sekolah lain.
Cerita dan kesan teman saya pada kepala sekolahnya itu saya tuangkan dalam bentuk puisi seperti berikut.

KEPAK ITU, MBAKYU, MASIH SAJA TERDENGAR

diterangi oleh cahaya rembulan
yang tersaput awan tipis
serta diiringi denting lonceng ronda
yang memecah percik hujan malam hari
kutulis surat ini kepadamu, mbakyu

ingin kukhabarkan bahwa laut di semarang
tidak lagi terasa asin
rimbunnya pohon di kampung kali
tidak lagi bisa selimuti asap pabrik-pabrik berteknologi
dan tempat kostku, mbakyu
tidak lagi bisa dibilang tempat berteduh anak manusia
(hidup ternyata tidak sekadar untuk bernafas)

mbakyu,
pernah ada seekor camar berbulu indah
hinggap di jendela kamarku
kubayangkan ia adalah seorang gadis cantik
: bertahi lalat di kening, berkulit putih bersih
dan selalu tersenyum di waktu pagi
sambil senandungkan tembang-tembang asmaradana

(mbakyu tentu dapat merasakan mekarnya nafasku
seperti mekarnya hati mbakyu
ketika melihat padi di sawah telah menguning
atau melihat bersemu merahnya kopi di belakang rumah)

kamarku pun menjadi bercahaya, mbakyu
melelapkan kebisingan kota yang selalu menderaku
melelapkan jeritan anak-anak jalanan yang selalu mengusikku

kepak camar itu, mbakyu
mengingatkanku pada shalawatan di mushala mbah kyai
pada tembang fals yang keluar dari mulut tua: emak kita
juga dari wirid pohon-pohon ketela di kebun
juga dari tangis anak-anak kecil yang sibuk mencari tetek ibunya
kepak camar itu, mbakyu
telah mampu merenda benang-benang kusut di kamarku
melukis bayang bidadari di atas kanfas putih
merobek kalender lama yang telah usang
mencabut langit-langit kamar dengan lentik jemarinya
dan menyiram pohon-pohon keheningan di atap rumah

kepak camar itu, mbakyu
telah memperkenalkanku pada kehidupan kota:
dari helaan nafas pelacur jalanan
sampai pada wanita karir yang lupa pada suami-anaknya
dari seorang guru kecil yang tidak mampu membelikan motor bebek anak gadisnya
sampai pada pejabat yang lupa jumlah baju safarinya

mbakyu,
kalaupun aku tak lagi bercerita tentang roda pedati
dalam surat ini
jangan katakan bahwa aku telah berubah
sebagai anak desa
jangan katakan bahwa aku tengah bikin puisi
atau syair cengeng
juga jangan katakan bahwa aku tengah menciptakan irama
untuk melihat langit tanpa kabut
tidak, mbakyu
kepak camar itu, bagiku
lebih dari sekadar ringkik kuda
atau irama kecapi mbah ahmad tetangga kita
ia juga lebih dari sekadar kicauan kutilang
atau tiupan seruling penggembala kerbau
ia adalah air
ia adalah batu
ia adalah angin
ia adalah matahari
ia adalah nyanyian
ia adalah langit
: ia adalah pena

kutulis surat ini
di atas kertas yang amat kusam, mbakyu
sekadar mengingatkan bahwa kusam tidak berarti luka
sarang camar itu: rumput-rumput kering kusam
adalah istana bermercusuar
dengan aliran sungai kecil
dan singgasana berpermadani sutra
mbakyu,
dengan diterangi oleh cahaya rembulan
yang tersaput awan tipis
serta diiringi denting lonceng ronda
yang memecah percik hujan:
ingin kukhabarkan bahwa camar itu telah mengepakkan sayapnya kembali
ia telah arungi awan yang tebal
untuk membuat sarang lain: rumut-rumput kering kusam
dan kepak itu, mbakyu
masih saja selalu terdengar di telingaku
sebagai tepukan halus tangan emak di punggung
ketika malam harus menidurkan kita

Apa yang dapat dipetik dari peristiwa kelahiran puisi di atas? Saya kira, dalam membuat puisi kita harus:

Pertama    : menuliskan apa saja yang kita lihat atau kita rasakan atau kita pikirkan.  Ada kegelapan, ada keramaian, ada kesedihan, ada keinginan, dan sebagainya. Semua itu harus kita tuangkan dalam bentuk tulisan.
Kedua       : menentukan posisi diri kita atau sikap kita: menolak keadaan, menyetujui keadaan, menentang keadaan, kompromi dengan keadaan, dsb. Posisi kita itu harus juga dituliskan.
Ketiga       : menghaluskan atau mengindahkan bahasa: simbol, diksi, tipografi, dan sebagainya.



E. Menulis Esai
Akhir-akhir ini bahasa Jawa tiba-tiba menjadi berita sehari-hari. Padahal dalam banyak hal beberapa waktu yang lalu bahasa Jawa dikabarkan akan mati. Apakah bahasa Jawa akan berkembang terus? Apakah bahasa Jawa benar akan mati? Saya mempunyai pendapat: mati-hidupnya bahasa Jawa bergantung kepada generasi muda. Kalau generasi muda masih peduli, ia akan hidup; sebaliknya, kalau tidak peduli, ia bisa jadi akan mati. Opini tersebut saya tuliskan dalam bentuk esai sebagai berikut.

BALADA SEEKOR BURUNG

Pada suatu hari, ada seorang perempuan tua. Buta namun bijaksana. Apakah ia seorang tetua? Guru spiritual, barangkali. Reputasi kebijaksanaannya tak tertandingi dan tak usah ditanyakan lagi. Di antara para pengikutnya, dialah hukum dan juga pelanggarannya. Penghormatan yang diberikan untuknya dan pesona yang memancar darinya menembus tetangga-tetangganya dan merentang hingga ke tempat-tempat yang jauh, sampai di kota besar, tempat kecerdasan para nabi pedalaman menjadi sumber hiburan besar.
Suatu hari beberapa anak muda datang bertamu ke perempuan tua itu. Dari gelagatnya mereka seperti ingin menyanggah kemukjiyatannya dan membuktikan bahwa perempuan tua itu hanya seorang penipu. Sederhana ulah mereka: masuk ke pondoknya dan melontarkan sebuah pertanyaan yang jawabnya semata-mata terletak pada perbedaan antara perempaun tua dan mereka, perbedaan yang mereka anggap sebagai cacat fisik: kebutaannya. Mereka berdiri di hadapannya, dan salah seorang di antara mereka berkata, “Wahai perempuan tua, aku sedang menggenggam seekor burung. Tebaklah apakah burung ini hidup atau mati!”.
Perempuan tua itu tidak menjawab, lalu pertanyaan diulangi. “Apakah burung di  tanganku ini hidup atau mati?”
Perempuan tua itu masih membisu. Ia buta dan tak bisa melihat tamunya, juga apa yang ada di tangan mereka.Ia tak mengetahui warna kulit, jenis kelamin, atau tanah air mereka. Ia hanya tahu maksud mereka.
Perempuan tua itu membisu lama, dan anak muda itu tak bisa menahan tawa mereka.
Akhirnya ia berkata dengan suara yang lembut namun keras. “Aku tak tahu”, katanya. “Aku tak tahu apakah burung di tanganmu mati atau hidup. Yang aku ketahui hanya burung itu ada di tanganmu. Burung itu ada di tanganmu.”
Itulah penggalan awal pidato Toni Morrison ketika mendapatkan hadiah nobel atas novelnya yang berjudul Beloved.
Dalam bayangan saya, burung yang dipegang pemuda itu masih hidup. Tetapi orang tua yang buta itu tidak melihat, sehingga tidak tahu kalau burung itu masih hidup. Dalam bayangan saya selanjutnya, kalau perempuan tua itu menjawab “sudah mati”, pemuda-pemuda itu akan kembali tertawa dan mengatakan bahwa burung yang dipegangnya masih hidup sambil memberikan burung itu ke perempuan tua yang buta itu. Maka salahlah jawaban perempuan tua itu. Dalam bayangan saya selanjutnya lagi, kalau perempuan tua itu menjawab “masih hidup”, pemuda-pemuda itu akan buru-buru membunuh burung itu dan kembali tertawa dan mengatakan bahwa burung yang dipegangnya sudah mati sambil memberikan burung itu ke perempuan tua yang buta itu. Maka salahlah jawaban perempuan tua itu.
Jadi, tetap hidup atau akan matinya burung itu, sangat bergantung kepada kemauan pemuda-pemuda itu. Pemuda-pemuda itu bisa membiarkan burung itu, bisa juga mematikan (membunuh) burung itu.
Jika kita adalah pemuda-pemuda itu, saya membayangkan, burung yang dipegangnya adalah “bahasa Jawa”. (Mukh Doyin) (Pijar Indonesia, Maret 2005)

Apa yang bisa kita petik dari contoh penulisan esai di atas? Saya kira, dalam menulis esai, yang harus kita lakukan adalah:

Pertama    : kita harus menentukan pendapat atau opini tertentu yang merupakan  jawaban atas peristiwa atau fenomena yang ada di sekitar kita.
Kedua       : menuliskan latar belakang permasalahan atau peristiwa yang memunculkan opini kita.
Ketiga       : memilih simbol atau lambang yang akan mempertegas opini tersebut.
Keempat   : memilih model penulisan: deskripsi, analogi, atau yang lain.

Arief Budiman mendefinisikan esai sebagai karangan yang sedang panjangnya, biasanya dalam bentuk prosa, yang mempersoalkan suatu persoalan secara mudah dan sepintas lalu, tepatnya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis. Dalam esai persoalan yang menjadi bahan tulisan dijadikan persoalan kembali, bukan dicari jalan keluarnya. Esai memaparkan suatu persoalan sesuai dengan aspek emosional dan penalaran penulisnya dengan memberikan ksempatan kepada pembacanya untuk memecahkan persoalan yang diangkat. Akhir-akhir ini ada yang memasukkan esai ke dalam jenis karya sastra.


F. Menulis Resensi
Resensi adalah tulisan yang memuat penilaian terhadap sebuah buku baru atau buku lama dengan edisi perubahan. Resensi biasanya berbentuk esai. Dalam resensi minimal harus terdapat:
(1)     identitas buku,
(2)     ringkasan isi buku,
(3)     penilaian terhadap buku (baik isi maupun kemasannya).

Identitas buku biasanya terdiri atas judul, pengarang, tebal buku, penerbit, dan kalau perlu harga. Ringkasan cerita berisi alur cerita, mulai dari pemaparan sampai penyelesaian. Jika perlu dimunculkan bagian-bagian yang menarik. Penilaian berisi pertimbangan kelebihan dan kekurangan buku, baik dari segi isi maupun bentuk penyampaiannya.
Buku yang dapat diresensi adalah buku baru. Hal ini berimplikasi pada tujuan resensi, yaitu memberikan informasi kepada pembaca secara lengkap, mulai dari isi buku, bentuk, sampai penilaian terhadap buku tersebut.

F. Penutup
Pembelajaran menulis haruslah berangkat dari hakikat menulis yang sebenarnya. Menulis sebagai keterampilan sekaligus sepagai proses, dalam penerapannya harus melalui tiga tahap, yaitu prapenulisan, saat penulisan, dan pascapenulisan. Melalui tahapan tersebut terlihat ada dua aktivitas yang harus dibedakan dan dipisahkan, yaitu antara menulis dan menyunting. Jika kedua hal tersebut dikacaukan, aktivitas dan pembelajaran menulis tidak akan berjalan dengan baik.





























Tes:

Pilihlah jawaban yang benar!
1.    Secara garis besar karangan dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu….
  1. imaginative writing dan factual writing
  2. imaginative writing dan scientific writing
  3. imaginative writing dan informative writing
  4. factual writing dan informative writing

2.    Langkah pertama dalam menulis prosa adalah ….
  1. menentukan tujuan
  2. membuat kerangka
  3. menentukan sasaran
  4. menentukan topik

3.    Aspek yang harus dicantumkan dalam resensi buku adalah ….
  1. identitas, isi, dan penilaian
  2. identitas, kelebihan, dan kekurangan
  3. identitas, isi, dan kelebihan
  4. identitas, isi, dan kelemahan

4.    Jenis tulisan yang berisi pandangan sepintas lalu penulis terhadap suatu masalah disebut….
  1. artikel
  2. esai
  3. resensi
  4. notulen

5.    Calon pembaca dalam menulis perlu dipikirkan untuk….
  1. menentukan topik
  2. menentukan tujuan
  3. menentukan kerangka
  4. menentukan bahasa










Kunci Jawaban:
1.    a
2.    d
3.    a
4.    b
5.    d


0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons