Kamis, 14 Oktober 2010

Saatnya Menghentikan Eksploitasi Hutan

Rentetan bencana alam seolah tidak pernah henti menghinggapi bangsa ini. Dari waktu ke waktu selalu saja dibarengi dengan terjadinya bencana alam yang tidak jarang menyisakan sejumlah persoalan.
Banjir bandang yang terjadi di Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, Senin (4/10) dan menewaskan lebih 100 orang, puluhan warga dinyatakan hilang serta korban luka yang cukup besar, membuka mata banyak pihak mengenai pentingnya penataan kawasan hutan sekitar lokasi bencana. 


Hutan selama ini hanya dijadikan sebagai sumber penghasilan bagi segelintir orang. Bahkan banyak kasus yang menunjukkan bahwa hutan justru dikelola secara illegal dalam rangka meraup keuntungan pihak-pihak tertentu. Sementara melihat pulau Papua yang luasnya beberapa kali Pulau Jawa dengan jumlah penduduk kurang dari 3 juta dengan penduduk asli sekitar 1 juta orang aneh jika harus ada penduduk yang tewas diterjang banjir. Jika Wasior adalah lokasi yang rentan banjir, seperti penjelasan resmi pemerintah, mengapa penduduk wilayah ini tidak dipindahkan ke daerah lain yang lebih aman?
Bukankah wilayah Papua masih sangat luas?  Banjir Wasior adalah ulah manusia. Yang sudah terang benderang adalah eksploitasi hutan secara tidak bertanggung jawab. Para pejabat Kementerian Kehutanan tidak perlu menutup-nutupi kenyataan ini. Berilah keterangan yang objektif kepada Presiden agar solusi yang diambil tidak meleset. Belajar dari kegagalan mengelola hutan di empat pulau besar, pemerintah harus ekstra hati-hati terhadap hutan Papua.
Tragedi Wasior mengingatkan pemerintah untuk segera memberlakukan moratorium bagi semua kegiatan pembabatan hutan di Papua. Pemegang HPH tidak boleh mengambil kayu Papua hingga ada kepastian bahwa mereka memiliki program yang jelas dan komitmen yang kuat untuk penanaman kembali. Wasior bisa meluas jika perusakan hutan di Papua dibiarkan. Tanah Papua menyimpan ironi. Pulau yang luasnya lebih dari seperlima luas daratan Indonesia dan kaya akan sumber daya alam tersebut tidak sebanding kondisi nyata penduduknya.
Jika rata-rata penduduk miskin Indonesia 13,3 persen, Papua dan Papua Barat masing-masing 37,5 persen dan 35,7 persen persen, menempati peringkat pertama dan kedua provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia. Dari delapan target Millennium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium, pencapaian Papua dan Papua Barat tergolong terendah di Indonesia. Tingkat kematian bayi dan kematian ibu jauh di atas rata-rata nasional.
Kedua provinsi itu memiliki catatan buruk dalam sanitasi, akses mendapatkan pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Penderita HIV/AIDS tergolong cukup tinggi. Secara formal, pemerintah sudah menunjukkan niat untuk memajukan penduduk di kedua provinsi Papua. Ada otonomi khusus dan peningkatan anggaran belanja. Tapi, dampak nyata terhadap rakyat relatif kecil, seperti ditunjukkan oleh tingginya angka kemiskinan dan rendahnya pencapaian MDGs. Orang Papua bagai tikus yang merana di lumbung padi.
Lumbung padi itu sudah bukan milik mereka lagi, melainkan sudah terkapling menjadi milik para pemegang HPH, pemilik kuasa pertambangan, dan mereka yang mendapat hak mengelola food estate. Selain moratorium pembalakan hutan, sejumlah hal berikut perlu dipertimbangkan. Pertama, pemindahan penduduk Wasior ke lokasi yang bebas ancaman banjir. Para korban yang selamat kini tak mau tinggal di Wasior lagi. Pemerintah perlu membantu untuk menemukan lokasi permukiman baru yang cocok.
Tidak Semena-mena
Kedua, kawasan yang diklaim sebagai tanah pemerintah hendaknya tidak semena-mena. Dahulukan pembagian tanah bagi setiap penduduk sesuai hak ulayatnya. Dengan wilayahnya yang luas, sangat layak jika di luar tanah ulayat, setiap penduduk asli Papua memiliki lahan pribadi 100 ha.  Ketiga, bebaskan rakyat asli Papua dari semua biaya kesehatan dan pendidikan hingga SLTA. Semua siswa Papua yang cerdas diberikan bea siswa belajar di perguruan tinggi, dalam dan luar negeri. Keempat, percepatan pembangunan infrastruktur, khususnya jalan darat dan pelabuhan laut. Selama ini, transportasi Papua lebih mengandalkan udara.
Tidak ada salahnya membangun bandara. Tapi, jauh lebih penting jalan raya dan pelabuhan. Bandara diprioritaskan di pedalaman. Kelima, otonomi khusus hendaknya tidak setengah hati. Kita sudah punya contoh otonomi Provinsi Aceh. Berilah otonomi yang cukup luas kepada Papua seperti yang dimiliki Aceh. 
Terkait dengan bencana Papua, kuat dugaan bahwa sumber masalahnya adalah masalah HPH yang sudah semakin merajalela. Meski Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan membantah adanya izin hak pengusahaan hutan atau HPH di sekeliling kawasan Wasior karena kawasan sekeliling Wasior yakni Cagar Alam Wondi Boy, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menemukan fakta ada dua pemegang izin HPH yang beroperasi di kawasan Hutan Suaka Alam Gunung Wondi Boy dan Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih, yaitu PT WMT dan PT DMP. 
Informasi dari Walhi tersebut seakan diamini oleh Juru Bicara Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah, Felix Wanggai, yang kebetulan berasal dari Papua Barat dan telah mengunjungi daerah bencana selama beberapa hari.  Dalam sebuah diskusi di Jakarta, akhir pekan lalu, Felix mengungkapkan isyarat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengisyaratkan kemungkinan peninjauan ulang perizinan hak pengusahaan hutan (HPH) di Papua Barat.  Tidak hanya di Kabupaten Teluk Wondama, namun juga di kabupaten lainnya.
Pemerintah, menurut Felix, akan melakukan intervensi secara komprehensif situasi yang akhir-akhir ini melanda Tanah Air. Dengan begitu, pemerintah tidak hanya melihat perubahan iklim, namun juga penataan ruang di Teluk Wondama dan Wasior. Karena itulah, terkait dengan penyebab banjir bandang yang meluluhlantakkan Wasior itu, Presiden Yudhoyono berencana akan mengunjungi wilayah bencana, mengunjungi pengungsi, dan yang terpenting memastikan sebab bencana, apakah karena tindakan pembalakan liar atau illegal logging ataukah karena faktor hujan lebat yang terus- menerus. 
Menyelamatkan Hutan
Karena itu, kita perlu menunggu hasil peninjauan lapangan yang akan disertai tim pakar atau ahli, sehingga sebab utama bencana bisa disimpulkan dan penanganan serta rehabilitasi Distrik Wasior bisa segera dilakukan dan pada saat bersamaan, penyelamatan hutan Papua Barat harus segera direalisasikan. 
Walaupun tidak langsung, kerusakan hutan menjadi faktor sangat penting dalam peristiwa Wasior. Juru bicara Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, Sabtu (9/10) mengatakan pengambilan hasil hutan secara berlebihan, menjadi salah satu pemicu terjadinya bencana banjir bandang Wasior.  Cuaca yang terbilang cukup ekstrem dalam satu tahun terakhir menjadi salah satu penyebabnya. Menurut catatan Greenpeace Asia Tenggara, lebih dari 600.000 hektare (ha) luas hutan kabupaten di Teluk Wondama Papua Barat, sudah setengahnya dijadikan areal hak pengelolaan hutan (HPH). Ada sekitar 300 ribu ha menjadi hutan produksi untuk kayu yang terkenal dengan kayu Merbau.
Tragedi banjir bandang itu harus menjadi perhatian kita semua, terutama Kementerian Kehutanan, Pemprov Papua Barat, dan Pemkab Teluk Wondama untuk segera menangani korban selamat dan membangun kembali Wasior.  Selanjutnya, menyelamatkan hutan, mengembalikannya pada fungsi sebagai penyeimbang kehidupan; memanfaatkan hutan, tapi tidak boleh berlebihan; serta memberi izin menebang dan mengelola hutan sambil mengawasi dengan ketat.
Kejadian ini juga peringatan bagi daerah lain, jangan sampai mengabaikan hutan. Sudah saatnya eksploitasi terhadap hutan dihentikan demi menyelamatkan kehidupan umat manusia. Disini dibutuhkan ketegasan pemerintah dalam melindungi hutan dan menindak para pelaku kejahatan terhadap hutan.***
Penulis adalah bekerja di salah satu perusahaan swasta nasional, tinggal di Medan.

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons