Selasa, 23 Agustus 2011

Semangat Kemerdekaan di Bulan Ramadhan


Enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 17 Agustus 1945, Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaanya. Pada peringatan HUT RI ke-66 ini terasa istimewa karena bertepatan dengan bulan Ramadhan yang berarti sama dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Secara filosofis, peringatan HUT pada bulan Ramadhan mengingatkan kita akan arti kemerdekaan dalam bingkai puasa. Puasa pada hakikatnya adalah pembebasan. Pembebasan diri dari penjajahan hawa nafsu dan kolonialisme syaitoni. Rasulullah pernah bersabda “Kita telah kembali dari jihad asghar (kecil) menuju jihad akbar (besar).” Yang dimaksud jihad kecil adalah perang Badar dan jihad besar adalah memeerangi hawa nafsu/puasa di bulan Ramadhan.
Hal ini berarti setelah Indonesia lepas dari cengkraman penjajah bukan berarti bangsa Indonesia telah secara total bebas dari penjajahan. Justru sebaliknya setelah merdeka mereka dihadapkan pada musuh yang lebih besar. Musuh itu adalah rintangan mempertahankan dan godaan dalam mengisi kemerdekaan. Yang disebutkan pertama, tentu  kita ingat rongrongan kemerdekaan baik dari pihak ekstern (negara-negara kolonialis) maupun intern bangsa Indonesia. Sedang yang kedua adalah godaan bangsa Indonesia baik dari level tertinggi (para pemimpin negara) sampai level paling bawah (rakyat) dalam mengisi kemerdekaan.
Dari level atas misalnya dapat dilihat dari kuatnya syahwat politik, kekuasaan dan harta para pemegang amanat rakyat. Kasus-kasus besar yang belakangan melanda Indonesia seperti korupsi, suap dan lain-lain sejatinya muncul karena ketidakmampuan mereka menahan syahwat mereka ketika memegang wewenang amanat rakyat.  Sedang di level bawah, yaitu rakyat, godaan nafsu juga tidaklah kecil. Kita lihat bagaimana mayoritas rakyat Indonesia telah mengabaikan norma-norma yang berlaku. Arogansi, keegoisan, penindasan, kekerasan terjadi hampir disegala penjuru negeri ini. Sepertinya mereka lupa akan berapa nyawa yang digadaikan untuk menebus kemerdekaan dari penjajah. Begitu pula para pemuda Indonesia yang lebih ‘menikmati” daripada “mengisi” kemerdekaan. Jiwa nasionalisme dan patriotisme di kalangan pemuda semakin luntur tergerus arus zaman  dan globalisasi. Secara tak sadar semua diatas telah mengantarkan Indonesia ke gerbang penjajahan hakiki. Penjajahan ideologi, kebudayaaan, moral dan pemikiran.
Peringatan kemerdekaan Indonesia ke-66 ini adalah momentum yang tepat sebagai  titik tolak dan start bangsa Indonesia untuk merefleksikan apa yang telah dilakukan dan dicapai selama 66 tahun mengisi kemerdekaan dan sebagai kompas arah bangsa. Harapannya ke depan bangsa Indonesia benar-benar menjadi bangsa yang merdeka. Semoga. (Nur Khoiruddin)

Selasa, 16 Agustus 2011

Memperkokoh Reposisi Pesantren Di Era Globalisasi

Oleh: Ahmad Fatah, S. Pd.I, M.S.I.
Pesantren adalah model lembaga pendidikan Islam pertama yang mendukung kelangsungan sistem pendidikan nasional. Secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian Indonesia. Seperi dikatakan A. Malik Fadjar, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiilki watak indegenous (pribumi) yang ada sejak kekuasaan Hindu-Budha dan menemukan formulasinya yang jelas ketika Islam berusaha mengadaptasikan keislamannya. Sejarah yang mengakar dan panjang inilah yang membuat pesantren memiliki peran dan memberikan kontribusi penting dalam sejarah perkembangan pembangunan Indonesia.
Dewasa ini pandangan masyarakat umum terhadap dunia pesantren dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, masyarakat yang menyangsikan eksistensi pesantren dan relevansi lembaga pesantren dalam menghadapi masa depan dan modernitas. Kedua, masyarakat yang menaruh perhatian (concern) sekaligus memiliki ekspektasi yang kuat terhadap eksistensi pesantren. Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pesantren membangun jati diri dan tradisi dalam mengahadapi era globalisasi? Dan bagaimana pula mereposisi pesantren dalam konteks pendidikan Islam dan sosial keagamaan kontemporer? Tulisan ini hanya memberikan deskripsi awal mengenai dua permasalahan pokok diatas.
Nilai-nilai Pesantren
Pada dasarnya pesantren dibangun atas keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu. Yaitu komunitas santri yang  ingin menimba ilmu sebagai bekal hidup dan kiai/guru yang secara ikhlas mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Relasi didaktik dan sosial ini saling melengkapi dilingkungan pesantren. Untuk membangun jati diri, pesantren menjadi kokoh karena dijiwai dengan apa yang dikenal dengan panca-jiwa pesantren. Pertama, jiwa keikhlasan. Kedua, jiwa kesederhanaan. Ketiga, jiwa kemandirian. Keempat, jiwa bebas. Kelima, jiwa ukhuwwah (solidaritas).
Sejumlah nilai diatas menjadikan pesantren eksis sepanjang sejarah kehidupan dan dinamika zaman. Nilai kemandirian sebagai pondasi eksistensial pesantren merupakan nilai utama yang paling signifikan bagi perubahan sosial (social change) dan budaya yang otonom (autonamous culture). Pesantren dengan panca jiwanya telah banyak memainkan peran sebagai creative cultural makers dimasyarakat. Inilah yang sebenarnya sebagai modal dasar pesantren untuk mengembangkan dan memperkokoh reposisi pesantren.
Reposisi Pesantren
Sejak abad ke-20 M pesantren baru mereposisi diri kearah sistem pendidikan yang berorientasi masa depan dengan tanpa menghilangkan tradisi-tradsi baik sebelumnya. Sejak 1970-an misalnya, pesantren mulai mengajarkan pendidikan keterampilan diberbagai bidang, misalnya menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan dan sebagainya. Bahkan dewasa ini, dengan munculnya pesantren-pesantren modern juga mengajarkan keterampilan bahasa asing, desain grafis, elektronika, bahkan merakit laptop (komputer jinjing). Hal inilah yang perlu diformulasikan dalam inovasi kurikulum pesantren dan perlu dikembangkan secara integratif dan sinergis. Inovasi kurikulum sangat penting, karena kurikulum adalah `ruh` dalam suatu proses pendidikan. Dan inovasi dibutuhkan karena tuntutan zaman dan kebutuhan yang semakain kompleks. Disisi lain, perlu juga dikembangkan dan diwacanakan manajemen berbasis pesantren, sebagai konsekuensi logis dalam mengahadapi modernitas dan peningkatan mutu pesantren.
Upaya diatas tentu tidak mudah direalisasikan, mengingat problematika modernitas yang semakin kompleks dan problem-problem pesantren juga semakin variatif. Problem penyakit dikotomi, paradigma pendidikan, manajemen dan persepsi `miring` terhadap pesantren merupakan `pekerjaan rumah` yang harus segera diselesaikan. Disisi lain, problem modernitas dan westernisasi yang semakin gencar juga menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pesantren untuk menunjukkan eksistensinya. Semoga upaya inovasi kurikulum, manajemen berbasis pesantren dan upaya mendialogkan salaf-modern mampu menjadi solusi bagi perkembangan pesantren dalam menghadapi masa depan. Wallahu A`lam bish Showab.

PENDIDIKAN (Antara: Membangun, Menghancurkan dan Memperalat)


Oleh: Abd. Azis
A.      Pendahuluan
Sepintas judul di atas terasa janggal. Ketika kata ‘pendidikan’ diikuti dengan kata ‘membangun’ (pembangunan), logika kita sepakat, artinya di sini tidak dirasakan ada kejanggalan, karena memang sudah seharusnya pendidikan itu membangun, sekurang-kurang terhadap mental dan moral kita. Namun ketika kata ‘pendidikan’ diikuti dengan kata ‘menghancurkan’ --dan atau memperalat-- maka di sinilah kejanggalan itu kita rasakan, karena antara ‘pendidikan’ dan ‘menghancurkan’ adalah a vis a (berlawanan). Berpijak pada statemen tersebut, berarti mengikutkan kata ‘menghancurkan’ pada kata ‘pendidikan’ semakna dengan mengikutkan kata ‘menghancurkan’ pada kata ‘membangun’. Itu adalah sesuatu yang tidak akan terjadi atau terselesaikan. Ibarat dua orang, yang satu membangun, yang lain menghancurkan. Kapan selesainya? Sekali lagi, di sinilah letak kejanggalan tersebut.
Akan tetapi dengan membaca sepenuhnya tulisan ini, rasa janggal tersebut akan hilang. Begitu sekurang-kurangnya harapan penulis.
B.       Pendidikan: Membangun
Pendidikan mengandung arti membangun jika dilihat dari sisi konseptual, teori, visi, misi, tujuan, dan praktek dari segelintir orang. Pendidikan yang demikian telah didefinisikan dengan ramah, santun, obyektif, manusiawi oleh para tokoh pendidikan. M. Ngalim Purwanto, misalnya, mendefinisikan pendidikan sebagai segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. (M. Ngalim Purwanto, 1997:10). Begitu juga Langgulung. Menurutnya, pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik. (Hasan Langgulung, 1986: 33).
Dari dua definisi tersebut dapat dikatakan, jika kita menginginkan anak-anak kelak menjadi orang yang mengerti apa yang harus dilakukan di dalam menjalani hidupnya --termasuk dalam menghadapi problemnya-- baik dalam tataran sosial maupun spiritual hendaknya sekarang mereka dididik. Begitu juga jika dikehendaki agar mereka bertindak tertentu dalam menghadapi hal tertentu maka mulai sekarang mereka hendaknya dididik dengan tingkah laku tersebut. Begitu pentingnya pendidikan dalam pandangan kedua tokoh tersebut. Pendidikan terasa sebagai kegiatan yang manusiawi (memanusiakan manusia). Oleh karenanya ia sangat dibutuhkan oleh setiap orang, bahkan dijadikan sebagai suatu kewajiban yang seandainya ditinggalkan seseorang akan kehilangan arah dalam hidupnya.
Di lain pihak Sartono --dan dikuatkan Langgulung-- mengatakan, tanpa pendidikan kita tidak dapat bertahan hidup (lihat Tri Yudho, 1996: 9). Dari sini semakin jelas betapa luhurnya pendidikan. Sehingga bangsa Indonesia sendiri menyadari dan kemudian merumuskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas 2003)
Pentingnya pendidikan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh tokoh masyarakat dengan mendirikan institusi pendidikan dengan visi, misi dan tujuan yang tentunya luar biasa pula, dengan harapan agar kelak anak-anak mereka menjadi generasi yang dapat diharapkan dan diandalkan. Di sinilah pendidikan merupakan harapan bagi setiap orang dalam rangka membangun masa depan, dan untuk mencapai kedewasaan sehingga mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, sekaligus mampu mengambil sikap.
C.    Pendidikan: Menghancurkan
Konsep, visi, misi, tujuan pendidikan yang sangat manusiawi sebagaimana didefinisikan di atas, kemudian dipraktekkan berbeda oleh kebanyakan masyarakat yang notabene peduli terhadap pendidikan. Tidak sedikit di antara pelaku pendidikan, baik kepala sekolah maupun wakilnya, staf pengajar --bahkan orang-orang yang bekerja di kementerian pendidikan-- yang tahu visi, misi, maupun tujuan pendidikan di mana mereka melaksanakan tugas. Tidak jarang pula mereka yang sudah mengetahuinya kemudian menjadikan pengetahuan tersebut sebagai muara dalam melaksanakan tugas. Tindakan inilah di antaranya yang dapat menghancurkan pendidikan.
Selain itu, terjadinya pengangkatan guru yang kurang profesional, masih suburnya praktek KKN dalam ranah pendidikan, kasus suap, kemampuan penguasaan materi dan metode pembelajaran yang tidak dimiliki guru, managemen pendidikan yang tidak tertata rapi, seperti terjadinya pungli atau mahalnya tarif pendidikan yang dipasang, pengaturan jadwal, pemberian alokasi waktu yang kurang memadahi bagi mata pelajaran yang memiliki materi banyak dan lain-lain turut mempercepat hancurnya pendidikan.
Namun di atas semua itu, yang tidak kalah dahsyatnya dalam menghancurkan pendidikan adalah rendahnya dedikasi dan hilangnya keikhlasan di hati mereka. Dijadikannya sekolahan --dan atau instansi terkait- sebagai tempat mencari keuntungan materi merupakan tanda hilangnya keikhlasan. Ketika keikhlasan hilang maka semangat mendidik akan digantungkan pada banyaknya imbalan yang didapat, selain itu semangat mendidik tersebut menjadi tidak konsisten. Seorang guru akan semangat ketika keberhasilan pendidikannya kelak akan dijadikan sebagai lahan promosi. Jika hal itu yang terjadi maka kemampuan anak hanyalah kemampuan sesaat, karena mereka belajar hanyalah untuk kepentingan sesaat. Inilah di antara perbedaan antara praktek pendidikan sekarang dengan masa klasik. Mengapa pendidikan yang didukung oleh sarana dan prasarana yang pas-pasan mampu melahirkan tokoh-tokoh besar. Sementara pendidikan yang didukung oleh sarana yang memadahi justru melahirkan pencuri-pencuri besar.

D.    Pendidikan sebagai Alat 
Seringkali stockholder pendidikan menjadikan lembaganya sebagai alat taruhan, dalam arti mempertaruhkan harga diri. Agar mendapatkan emage baik di mata masyarakat, seringkali mereka menempuh jalan yang tidak sportif dan obyektif, lebih-lebih dalam menghadapi UN. Pengalaman penulis selama 4 periode menjadi pemantau UN cukup menjadi bukti betapa hal ini ditempuh oleh sebagian besar --untuk tidak mengatakan semua-- pengelola pendidikan. Kebanyakan guru, ketika menjadi pengawas membiarkan peserta ujian melakukan kecurangan dengan berbagai cara. Ketika menjadi panitia, mereka mendiktekan jawaban kepada siswanya, mengajari cara-cara melakukan kecurangan, bahkan menginstruksikan siswa yang pandai untuk mengajari siswa yang bodoh di dalam mengerjakan soal. Begitu juga kepala sekolah, tidak memberi kontrol terhadap sikap demikian.
Tidak jarang pula institusi tersebut dijadikan sebagai lahan bisnis. Siswa dijadikan sapi perah untuk mendapatkan laba sebanyak mungkin tanpa mempedulikan bagaimana kemajuan belajar mereka, baik dengan jalan memungut biaya pada siswa maupun membelokkan subsidi-subsidi yang masuk. Kasus ini memang tidak sebanyak kasus sebelumnya, namun demikian kita tidak bisa melupakan bahwa ia turut juga dalam menghancurkan pendidikan di tanah air.
Kasus lain --yang mungkin masih menimbulkan perdebatan-- adalah adanya indoktrinasi yang dilakukan sekolah-sekolah tertentu. Indoktrinasi pada batas-batas tertentu merupakan pengkebirian terhadap kreatifitas dan kritisitas siswa. Siswa yang seharusnya mampu menangkap segala pengetahuan, gagal karena pengetahuan-pengetahuan tertentu dikatakan sebagai pengetahauan yang salah dan tidak harus diikuti. Pendidikan seharusnya menjadikan anak mampu menilai sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Namun kemampuan itu tidak didapatkannya, hanya karena kepentingan  manager  pendidikan. wa Allah a’lam

Senin, 15 Agustus 2011

Kecerdasan Emosional Entrepreneur

Mengapa kecerdasan emosional seorang Entrepreneur juga saya ungkap di artikel ini? Itu karena, saya sendiri ikut merasakan, bahwa kesuksesan bisnis memang sangat berkaitan langsung dengan kecerdasan emosi Entrepreneurnya. Maka, tak ada salahnya kalau faktor kecerdasan emosional itu perlu kita kedepankan. Bahkan, itu mutlak kita miliki. Hal itu, saya pikir juga merupakan langkah tepat di dalam setiap kita ingin meraih keberhasilan bisnis, juga dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang pertama mengenalkan kecerdasan emosional adalah Daniel Goleman. Dalam bukunya “Emotional Intelligence” atau EQ, ia mengungkapkan, bahwa ada 5 wilayah kecerdasan emosi yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenal emosi orang lain, dan membina hubungan. Artinya, jika kita memang mampu memahami, dan melaksanakan kelima wilayah utama kecerdasan emosi tersebut, maka semua perjalanan bisnis apapun yang kita lakukan akan lebih berpeluang berjalan mulus.
Harus dipahami, bahwa ada perbedaan antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan intelektual (IQ). Goleman mengungkapkan, bahwa kecerdasan intelektual itu sesungguhnya merupakan keturunan seseorang yang tidak dapat diubah, karena pembawaan sejak lahir. Sedang kecerdasan emosional tidak demikian. Saya sendiri sependapat dengan Goleman, yang akhhirnya menyimpulkan, bahwa kecerdasan emosional adalah merupakan jembatan antara apa yang kita ketahui, dan apa yang kita lakukan. Dengan semakin tinggi kecerdasan emosional, kita akan semakin terampil melakukan apapun yang kita ketahui benar.
Saya yakin, Entrepreneur yang memiliki kecerdasan emosional optimal, akan lebih berpeluang mencapai puncak keberhasilannya. Sosok semacam ini sangat kita perlukan guna membangun masyarakat entrepreneur Indonesia. Entrepreneur yang memiliki kecerdasan emosional optimal, akan tetap menganggap, bahwa krisis itu adalah sebuah peluang.
Itulah sebabnya mengapa, Entrepreneur itu harus tetap jeli dalam memanfaatkan emosinya. Sebaliknya jika seseorang secara intelektual cerdas, kerapkali justru bukanlah seorang Entrepreneur yang berhasil dalam bisnis dan kehidupan pribadinya. Dia harus yakin, bahwa di dalam dunia bisnis saat ini maupun di masa mendatang, kecerdasan emosional akan lebih tetap berperan.
Maka dengan memiliki kecerdasan emosional yang optimal, akan lebih bisa mentransformasikan situasi sulit. Bahkan, kita juga semakin peka akan adanya peluang Entrepreneur dalam situasi apapun. Kalo kita memiliki kecerdasan emosional yang optimal, yakin akan mampu mengatasi berbagai konflik.
Orang yang benar-benar mengoptimalkan EQ, akan lebih jeli dalam melihat sebuah peluang. Ia akan lebih cekatan dalam bertindak dan lebih punya inisiatif. Atau, ia pun akan lebih siap dalam melakukan negosiasi bisnis. Lebih mampu melakukan langkah strategi bisnisnya, memiliki kepekaan, daya cipta, dan komitmen yang tinggi. Bahkan , ada pakar yang mengungkapkan, bahwa keberhasilan seseorang dalam bidang bisnis, 80% ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.
Banyak orang yang sukses menjadi Entereprenuer meski nilai akademiknya sedang sedang-sedang saja. Hal ini disebabkan, mereka yang lulus dengan nilai sedang itu sebagian besar memiliki kecerdasan emosional optimal. Lantaran kecerdasan emosional yang optimal inilah yang justru mendorongnya untuk menjadi Entrepreneur yang kreatif. Contohnya adalah Bill Gates, seorang supermiliarder di Amerika Serikat. Dia adalah pemilik perusahaan perangkat lunak Microsoft. Saat Bill Gates kuliah di Harvard Business School, ia merasa tidak mendapat pengetahuan apa-apa. Akhirnya ia putuskan berhenti kuliah. Namun meski drop-out dari Harvard, Bill dikenal sebagai penyumbang dana terbesar bagi universitasnya.
Hal yang sama juga terjadi pada Steven K. Scout. Saat ini dia dikenal sebagai miliarder di Amerika Serikat. Ketika masih di sekolah, Steven tidak pintar. Dai tidak populer di sekolahnya. Namun, sekarang Steven berhasil menjadi pengusaha yang bergerak di bidang bisnis pemasaran nomor satu di Amerika Serikat.
Saya yakin, Entrepreneur itu memang perlu kecerdasan emosional yang optimal. Nilai akademis saat studi tidak harus tinggi. Sulit bagi seseorang untuk menjadi Entrepreneur, meski memiliki kecerdasan intelektual tinggi, tetapi kecerdasan emosionalnya rendah. Lantas apakah Anda ingin memiliki kecerdasan emosional yang optimal? Itu bisa dipelajari, dilatih, dan bisa dikembangkan. Oleh karena semuanya itu proses yang membutuhkan waktu, ketentuan, dan semangat tinggi. Berani mencoba? Silahkan.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons